Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
KNews.id – Upaya KPK yang menahan para oknum terduga pelaku rasuah, di dua institusi yang berbeda boleh dibilang lumayan, namun “tidak” logis atau sesuatu yang ‘blunder’ andai publik memberikan apresiasi.
Karena praktik kinerja KPK terhadap 2 (dua) a quo in casu, kementan dan kelompok masyarakat (Pokmas) di Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) Tahun Anggaran (TA) 2019-2022 jelas ngawur.
*Kasus pertama,* sekalipun yang ditahan adalah bos pengolahan karet tentu ini sekedar kelas teri, bukan ‘kakap’ (intellectual dader) di Pusat Kementan, sehingga patut dipertanyakan keterbukaan proses penanganannya, terkait batasan hubungan hukumnya antara pejabat ” sekelas seksi atau bidang ?” dengan pejabat pusat kementrian dan tentunya ini punya nilai perspektif dan logika penyidikan.
Pada kasus kedua, terkait korupsi dana hibah (Pemprov Jatim) publik berharap KPK berlaku transparansi dan akuntabilitas sesuai sistim hukum/ KUHAP dan undang undang lainnya, sehingga publik tidak mencurigai kenapa KPK tidak menyentuh petinggi di kegubernuran ?
Juga istilah KPK dengan menggunakan istilah “penanganan bertahap”, adalah istilah maupun pola tehnis beracara yang tidak dikenal dalam sistim hukum positif.
Sehingga Pola kerja dan statemen hukum “bertahap” yang disampaikan KPK kepada publik bisa menimbulkan kecurigaan dan bias, akibatnya para penyidik dan para anggota KPK bisa dituduh sengaja memberi kesempatan “cuci berkas, agar bercak bercak darah di baju dan dimeja terduga pejabat kelas ‘kakap’ hilang.
Pastinya dalil KPK yang mengatakan akan bertahap, adalah kontradiktif dengan alasan subjektif yang dimiliki oleh penyidik KPK (Polri dan Kejaksaan RI), vide KUHAP Jo. UU. Tentang Polri Jo. UU. Tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga metode yang dijadikan prinsip hukum oleh KPK wajar dipertanyakan oleh masyarakat hukum.
Untuk itu sebaiknya KPK mesti mengkaji ulang metode atau pola penerapan asas-asas dan teori hukum pidana. Dalam makna hukum, segala proses hukum yang dilakukan KPK harus berprinsip melulu merujuk asas legalitas.
Tujuannya adalah “jangan sampai lahir tuduhan ekstrim dari publik, “bahwasanya KPK memberi kesempatan kepada terduga lainnya untuk melarikan diri atau menghilangkan alat bukti atau diberikan kesempatan mengulangi perbuatan ?
Oleh karenanya penerapan sistim hukum oleh KPK tidak lagi tebang pilih (diskriminatif), melainkan melulu sesuai ketentuan dengan pola profesional dan proporsional, objektif dan transparan serta akuntabel.
Jika KPK melanggar ketentuan wajar publik banyak yang ‘prejudice terhadap KPK walau seandainya kinerja KPK berprestasi, namun malah ‘dituduh’ sekedar alih isu politik, merekayasa atas perintah oligarki atau tuduhan lainnya yang konotasinya negatif.
Tuduhan negatif publik ini, disebabkan praktik penegakan hukum KPK pada era Jokowi, tidak jarang diimplementasikan secara sungsang, sehingga hukum tidak berkepastian dan tidak berkeadilan. Sehingga negatif thinking publik terhadap KPK perlu dimaklumi, karena perilaku KPK yang kadang overlapping, masih menyisakan ketidakpercayaan publik kepada lembaga yang pernah menjadi super body karena khusus menangani kejahatan super bejat moral (extra ordinary crime), namun vonisnya kadang sungsang, hukumannya sama atau lebih lama sedikit dari para pencuri ayam atau copet akibat tuntutan dari JPU berada dibawah tuduhan sekedar melanggar prokes covid 19 atau dibawah tuntutan terhadap terdakwa atas dugaan “menyampaikan berita bohong walau tidak menimbulkan kegaduhan, dan tanpa korban yang mengalami kerugian.”
Dua peristiwa hukum serta statemen KPK ini cukup membuat publik miris, “ternyata pasca era kepemimpinan Jokowi, sikap KPK tetap menggunakan “lagu lama”, sehingga penegakan hukum yang dilakukan sulit berkepastian hukum dan tidak bakal mendapatkan fungsi tujuan hukum secara hakiki yakni keadilan.
(FHD/NRS)