KNews.id – Jakarta – Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) kembali mengalami penurunan pada Maret 2025. Hal ini menandakan tekanan terhadap daya beli masyarakat yang masih berlangsung.
Berdasarkan survei Bank Indonesia (BI), IKK tercatat turun ke level 121,1, melanjutkan tren penurunan selama tiga bulan berturut-turut. Pada Februari 2025, IKK berada di level 126,4, dan Januari 2025 mencapai 127,2.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai penurunan ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi ekonomi yang melemah.
“Ini bukan sekadar perasaan semata, tapi juga tercermin dari sejumlah indikator ekonomi yang mulai menunjukkan pelemahan,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Rabu (16/4).
Menurut Yusuf, penurunan penjualan eceran riil pada Februari 2025 menunjukkan kehati-hatian konsumen dalam membelanjakan uang, yang diperparah dengan perlambatan pertumbuhan uang beredar. “Ini mencerminkan berkurangnya likuiditas di masyarakat dan dunia usaha,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yusuf menyebut penurunan persepsi konsumen terhadap penghasilan, prospek usaha, dan ketersediaan lapangan kerja sebagai sinyal dini tekanan terhadap konsumsi rumah tangga.
“Ketika konsumen mulai pesimis terhadap penghasilan dan prospek kerja, maka pengeluaran cenderung ditahan, terutama untuk barang-barang non-esensial,” katanya.
Kondisi ini berdampak langsung ke pelaku usaha. Permintaan yang menurun mendorong perusahaan untuk memangkas produksi, menunda investasi, bahkan melakukan efisiensi tenaga kerja. “Ini menciptakan siklus pesimisme yang terus berulang,” kata Yusuf.
Dari sisi investor, pelemahan indikator seperti konsumsi, likuiditas, dan mobilitas masyarakat menjadi sinyal melambatnya perekonomian. “Apalagi jika sektor konsumsi yang selama ini dianggap resilien mulai menunjukkan tanda-tanda kelesuan,” katanya.
Kelas Menengah Menyusut hingga Beban Biaya
Senada, Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal menyebut IKK pada Maret 2025 berada di level terendah sejak Oktober 2024.
“Kemerosotan yang berkelanjutan ini menggarisbawahi meningkatnya tekanan pada daya beli rumah tangga di tengah menyusutnya kelas menengah, dan meningkatnya beban biaya, khususnya di daerah perkotaan,” ujar Fithra.
Ia juga menyoroti lebih dari 90 ribu pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak 2024, serta perilaku belanja masyarakat yang masih lesu di kuartal pertama tahun ini.
Fithra memperingatkan bahwa penurunan keyakinan konsumen yang berkelanjutan dapat menekan konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Dengan inflasi yang masih rendah tetapi rupiah di bawah tekanan dan upah riil yang stagnan, hambatan pada pengeluaran diskresioner dapat meningkat, khususnya di antara kelompok berpenghasilan menengah yang rentan,” ujarnya.
Jika daya beli terus melemah, maka bisnis yang bergantung pada permintaan domestik seperti ritel, barang konsumesi dan jasa berpotensi perlambatan.
“Jadi, pada tahap siklus pasar ini, kami melihat risiko penurunan terhadap pertumbuhan PDB kami yang di bawah 5% pada 2025,” kata Fithra.