spot_img
Rabu, April 24, 2024
spot_img

KM 50 Tol Japek Memburu Pemilik Ide Kejahatan

Oleh: Tamsil Linrung, Senator DPD RI

KNews.id- Bangsa ini sering dipuja sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Juga dielu-elukan sebagai negara hukum. Namun sejarah membuktikan, pertarungan ideologi dan kepentingan politik tak jarang mengangkangi hukum dan demokrasi.

- Advertisement -

Kini, sejarah itu kembali menampakkan kepongahannya. Kasus hukum yang bertubi-tubi menimpa Front Pembela Islam (FPI), ditengarai cacat hukum, intimidatif dan diskriminatif. Konon, itu terjadi sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), penutupan organisasi FPI, dan seterusnya.

Puncaknya adalah unlawful killing, pembunuhan di luar hukum terhadap enam pemuda laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek), beberapa waktu lalu. Terhadap pembunuhan di luar hukum ini, hasil penyelidikan Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta aparat berwenang untuk menyelidiki lebih lanjut.

- Advertisement -

Permintaan Komnas HAM merujuk secara khusus kepada wafatnya empat laskar FPI. Soalnya, empat  pemuda ini harus menemui ajal dalam penguasaan polisi. Versi polisi, mereka merebut pistol aparat sehingga bentrok tak terelakkan di dalam mobil.

Namun argumen polisi itu terasa janggal. Keempat laskar harusnya diborgol, sebagaimana jamaknya Standard Operation Procedure (SOP) penangkapan yang dilakukan polisi. Apalagi, mereka dituding terlibat adu tembak sebelum akhirnya dibekuk.

- Advertisement -

Meski polisi beralasan aparat tidak dilengkapi borgol karena mereka bukan tim penangkapan, namun tetap saja kita mencium aroma kelalaian. Borgol bukanlah barang “mewah”. Bukan pula barang yang memerlukan kualifikasi tertentu untuk ditenteng aparat, sebagaimana senjata berpeluru tajam.

Dua anggota laskar FPI lainnya wafat lebih dulu di lokasi kejadian. Baik kepolisian maupun Komnas HAM, keduanya berpendapat terjadi baku tembak. Namun, sejumlah pihak menemukan keterangan berbeda. Salah satunya temuan wartawan Forum News Network (FNN) Edy Mulyadi.

Saat menginvestigasi ke Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, di akun youtubenya, Edy mengaku telah mewawancara tiga orang sumber yang saat itu berada lokasi kejadian, yang polisi menyebutnya dengan Tempat Kejadian Perkara (TKP). Para saksi itu menerangkan tidak melihat ada baku tembak, melainkan hanya mendengar dua kali tembakan. Dua tembakan itulah yang diduga menewaskan dua laskar FPI.

Belakangan, Rest Area KM 50 dibongkar habis. Diratakan dengan tanah. Tidak ada lagi yang tersisa di TKP Rest Area KM 50 Tol Japek. Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI Abdullah Hehamahua mempertanyakan tindakan ini. Menurutnya, di lokasi bukan tak mungkin terdapat barang bukti yang masih dapat ditelisik. Kekhawatiran Hehamahua tentu bisa dipahami.

Yang menyedihkan, dalam perjalanan perkara selanjutnya, keenam pemuda FPI itu dijadikan tersangka, meski telah wafat. Alasan versi Menkopolhukam Mahfud MD, konstruksi hukum mengharuskan penersangkaan. Tetapi sejumlah ahli hukum  membantah dan menyebut langkah hukum ini justru melawan Pasal 77 KUHP. Artinya, melawan hukum.

Sarat Kontroversi

Begitu banyak kontroversi dalam kasus ini, hingga sulit diramu satu per satu. Namun satu hal yang pasti, konstitusi memerintahkan “negara melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia”. Melindungi setiap nyawa warga negara adalah kewajiban pemerintah. Sebaliknya, penghilangan nyawa satu rakyat saja tanpa alasan kuat adalah tindakan melawan konstitusi yang juga melanggar HAM.

HAM adalah anugerah yang wajib dihormati. Dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan kita semua. HAM seharusnya menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Diskriminasi dan intimidasi yang berujung pada hilangnya hak hidup, tentu harus direspon oleh hukum secara adil. Bila tidak, wajah bangsa ini akan semakin kusam dalam pandangan dunia internasional. Karena kejahatan HAM selalu menjadi perhatian masyarakat global. Bangsa ini telah cukup banyak menyimpan problem HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Jangan ditambah lagi.

Hari ini ,16 Maret 2021, tepat 100 hari kematian 6 pemuda Laskar Front Pembela Islam. Hingga 100 hari pasca kepergian almarhum, pihak keluarga masih mengejar keadilan. Kita bersimpati kepada keluarga yang ditinggal dan memanjatkan doa terbaik untuk para almarhum.

Semestinya, belasungkawa juga datang dari pemerintah. Entah itu dari Presiden Jokowi atau setidaknya salah seorang menteri Kabinet Indonesia Maju. Tetapi kita tidak mendengar ucapan itu. Sangat kering dan gersang negara berbelasungkawa kepada rakyatnya. Apalagi karangan bunga dukacita segala.

Konteksnya bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini tentang soal kemanusiaan. Ikut bersimpati pada duka keluarga korban rasanya tidak akan terlalu memberatkan. Tidak juga mengurangi kehormatan dan waktu para pejabat. Sebaliknya, ucapan dukacita barangkali saja bisa mendinginkan suasana dan menjadi pintu masuk dialog antara keluarga korban dengan pemerintah.

Di jegad media sosial, viral orang tua para almarhum laskar FPI yang wafat itu melakukan sumpah mubahalah. Sumpah mubahalah memang dikenal pada mekanisme hukum pembuktian Islam di zaman Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam. Sumpah ini bahkan pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallaahu Alaihi Wasallam sendiri.

Hukum Indonesia tidak mengenal sumpah mubahalah.  Kalau toh dilakukan, agaknya tidak akan meringankan atau memberatkan dalam konteks hukum positif Indonesia. Tetapi sumpah itu toh tetap saja menjadi pilihan. Boleh jadi karena orang tua korban merasa kepentingan hukumnya tidak bakalan sepenuhnya diayomi penegak hukum.

Memasuki Babak Baru

Kini, insiden wafatnya enam laskar FPI memasuki babak baru. Tiga anggota Polda Metro Jaya yang terlibat dalam bentrok dengan enam laskar FPI, tengah diperiksa. Sinyal yang diberikan Kabareskrim Polri, tidak menutup kemungkinan ketiganya menjadi tersangka.

Bila benar tiga Anggota Polda Metro Jaya melakukan pembunuhan itu, harus dipastikan apakah tindakan itu dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas perintah atasan? Yang kita tahu, garis komando itu begitu mendarah daging dalam diri aparat kepolisian dan personel TNI. Seorang petugas lapangan umumnya tidak akan berani mengambil keputusan berdampak besar bila tidak ada perintah atasan.

Jika benar didasari atas perintah atasan, maka kasus ini tidak boleh berhenti hanya pada petugas di lapangan. Pemilik ide kejahatan dan pemberi komando harus dikejar. Meski begitu, harus diakui pula bahwa kemungkinan inisiatif sendiri tetap ada, meski potensinya sangat kecil. Itu bisa terjadi jika situasi lapangan mengharuskan.

Pada sisi lain, lagi-lagi muncul kontroversi baru. Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI menduga ada eksekutor lain dalam peristiwa di Km 50 Tol Japek, 7 Desember 2020. Dugaan ini disinyalir Ketua TP3 Abdullah Hehamahua berdasarkan penuturan saksi mata di sekitar lokasi.

Dugaan Hehamahua sebaiknya tidak dikesampingkan begitu saja. Terlebih, dugaan ini punya kecocokan dengan temuan investigasi Komnas HAM. Komnas menyebut ada sejumlah pria yang membawa senjata laras panjang di sekitar KM 50, yakni aparat penjaga jalur pengiriman vaksin Covid-19.

Meski begitu, selalu terbuka alternatif lain yang dapat terjadi. Belajar dari kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Nusantara Nasrudin Zulkarnain, misalnya. Faktanya, di persidangan terungkap bahwa eksekutor yang disewa Mantan Ketua KPK Antasari Azhar ternyata gagal menunaikan tugas. Pistol sang eksekutor macet. Tetapi Nasrudin Zulkarnain toh tetap tewas dengan peluru bersarang di kepala.

Peristiwa sejenis itu pula yang dikhawatirkan oleh Hehamahua. Menurut dia, peluru yang menyasar di kepala Nasrudin Zulkarnain berasal dari senapan sniper, penembak jarak jauh. Baik Komnas HAM maupun penyidik di Kepolisian seharusnya memikirkan alternatif semacam ini, agar penanganan dan pengembangan perkara tepat sasaran dan berkeadilan.

Jangan sampai yang salah dibuat menjadi soelah-olah benar, dan yang benar jangan sampai disalahkan. TP3 bersama Amien Rais telah menemui presiden. Segala harapan, unek-unek, dan bahkan ancaman siksa api neraka telah disampaikan. Kita menunggu sejauh mana langkah bijak Presiden Joko Widodo. (AHM/fnn)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini