spot_img
Rabu, November 12, 2025
spot_img
spot_img

Ketenangan Hamba Sahaya Buat Pedagang Kaya Banting Setir Jadi Ahli Zuhud

KNews.id – Jakarta, Dunia bukanlah akhir segalanya. Justru ini baru permulaan, tempat mengumpulkan bekal untuk perjalanan panjang menuju akhirat.

Allah berfirman dalam Surah al An’am ayat 32,

- Advertisement -

وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ ٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

wa mal-ḥayātud-dun-yā illā la’ibuw wa lahw, wa lad-dārul-ākhiratu khairul lillażīna yattaqụn, a fa lā ta’qilụn

- Advertisement -

Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?

Ada orang yang bersusah payah hidup di dunia sambil mengharapkan kebahagiaan materi, padahal dunia mencampakkannya. Namun ada orang-orang yang biasa saja hidup di dunia. Tetap berusaha, tapi meluangkan waktu untuk memperbanyak ibadah, dzikir, munajat, hingga membuat hatinya lebih fokus ke akhirat ketimbang dunia.

Syaqiq Al Balkhi adalah orang yang mengalami dua hal itu. Pada mulanya dia adalah ahli dunia. Susah payah mengumpulkan harta menjadi pedagang kaya. Suatu hari, kekasih Allah yang wafat 810 M/194 H ini berkelana ke sejumlah negeri.

Titik balik

Konon, titik balik dalam hidup Syaqiq terjadi ketika ia dalam perjalanan dagang ke negeri Turkistan. Saat singgah di sebuah kuil berhala (menurut beberapa riwayat), ia menyaksikan seorang hamba sahaya yang tampak tenang dan damai meskipun dalam kondisi diperbudak. Syaqiq bertanya, “Mengapa engkau tidak bekerja keras agar terlepas dari perbudakanmu?”

Hamba sahaya itu dengan tenang menjawab, “Tuhanku adalah pencipta dan pemilikku. Dia pasti tidak akan menyia-nyiakan rezekiku.” Jawaban ini sangat menusuk hati Syaqiq, yang saat itu hidupnya dipenuhi kekhawatiran dan kelelahan dalam mencari harta, padahal ia adalah seorang yang merdeka. Ia merasa hamba sahaya ini lebih bertawakal kepada Tuhannya.

- Advertisement -

Peristiwa lain yang menguatkan tekadnya untuk bertawakal adalah ketika ia tertinggal dari rombongan dagang di padang pasir. Rasa lapar dan haus mulai mencekiknya, namun tiba-tiba ia melihat seekor burung yang cacat dan sayapnya patah tidak bisa terbang mencari makan. Syaqiq bergumam, bagaimana mungkin burung ini bisa bertahan hidup?

Tak lama kemudian, datanglah seekor burung lain yang sehat dan membawa makanan untuk burung yang sakit itu. Melihat pemandangan ajaib tersebut, Syaqiq tertegun. Ia menyadari bahwa Dzat yang memberi rezeki kepada burung yang cacat di tengah padang pasir pasti juga mampu memberinya rezeki tanpa harus bersusah payah dengan keserakahan dan tamak.

Dialog dengan Ibrahim bin Adham

Kisah yang paling terkenal mengenai kekasih Allah asal Khurasan ini adalah pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham (mantan raja Balkh yang menjadi zahid) di Makkah. Syaqiq menceritakan peristiwa burung yang patah sayap tersebut kepada Ibrahim bin Adham sebagai bukti keutamaan tawakal dan keputusan dirinya untuk meninggalkan perdagangan.

Sufi yang namanya mirip dengan ayah Nabi Ismail ini lebih dulu terkenal dengan ke-zuhud-annya, mendengarkan dengan seksama kisah Syaqiq. Namun, Ibrahim kemudian memberikan tanggapan yang mengubah pandangan Syaqiq tentang tawakal secara total.

Ibrahim bin Adham bertanya kepada Syaqiq, “Mengapa engkau memilih menjadi burung yang sakit dan cacat, yang menunggu diberi makan oleh orang lain? Tidakkah engkau lebih memilih untuk menjadi burung yang sehat, yang memberi makan burung lain? Bukankah tangan di atas lebih mulia daripada tangan yang di bawah?”

Mendengar teguran yang bernas itu, Syaqiq al-Balkhi tersentak. Ia menyadari bahwa tawakkal yang benar bukan berarti bermalas-malasan dan menanti rezeki seperti pengemis, melainkan tetap berusaha (berdagang atau bekerja) namun hatinya tidak terikat pada hasil usaha tersebut. Harta yang didapat harus digunakan untuk membantu orang lain (tangan di atas).

Syaqiq al-Balkhi langsung memegang dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata, “Anda adalah guru kami, wahai Abu Ishaq!” Sejak saat itu, Syaqiq kembali berdagang, namun dengan pemahaman tawakal dan zuhud yang lebih sempurna: bekerja keras tanpa melupakan akhirat, dan menggunakan harta untuk kedermawanan. Ia kemudian dikenal sebagai guru dari sufi terkenal lainnya, Hatim al-Asham.

Syaqiq al Balkhi merupakan tokoh sufi dan zahid terkemuka. Kisah hidup dan ajarannya banyak dicatat dalam kitab-kitab ulama klasik, seperti Tadzkirat al-Auliya’ karya Fariduddin Attar. Dia adalah murid dari ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan dikenal sebagai sahabat dekat qadhi (hakim agung) Abu Yusuf.

(FHD/IQRA)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini