KNews.id – Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung penindakan impor ilegal pakaian bekas, termasuk langkah untuk melakukan blacklist terhadap importir nakal yang digaungkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.
Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan langkah tersebut merupakan bentuk perlindungan yang adil bagi industri nasional yang selama ini harus bersaing dengan produk pakaian bekas impor berharga murah dan tidak memenuhi standar.
“Selama bertahun-tahun, praktik impor ilegal tersebut telah menekan harga di pasar domestik, menggerus margin keuntungan produsen lokal, dan menimbulkan ketidakpastian usaha,” kata Saleh dalam keterangan tertulis kepada Bisnis, Senin (27/10/2024).
Untuk itu, penindakan yang tegas terhadap impor pakaian bekas ilegal akan membantu menciptakan iklim persaingan yang sehat bagi pelaku usaha yang taat aturan. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah berpihak pada penguatan industri dalam negeri.
Lebih lanjut, Saleh menilai kebijakan tersebut juga penting untuk memulihkan permintaan terhadap produk tekstil dalam negeri. Dengan berkurangnya banjir barang bekas impor, pasar diharapkan kembali menyerap produk dari pabrikan lokal di berbagai segmen harga.
“Hal ini berpotensi mendorong peningkatan kapasitas produksi, penyerapan tenaga kerja, dan investasi baru di sektor TPT. Kebijakan ini dinilai sejalan dengan upaya pemerintah memperkuat rantai pasok domestik dan memperluas penggunaan produk dalam negeri,” jelasnya.
Meski demikian, Kadin juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap pelaku usaha kecil dan pedagang thrift yang selama ini bergantung pada penjualan pakaian bekas impor.
Menurut Saleh, perlu ada langkah pendamping yang realistis agar kebijakan ini tidak menimbulkan gejolak sosial di lapangan.
Pemerintah mesti menyiapkan program bantuan modal, pelatihan produksi dan pemasaran produk lokal, serta kemitraan dengan produsen tekstil dalam negeri untuk membantu pedagang kecil beradaptasi.
“Banyak di antara mereka yang menggantungkan pendapatan pada bisnis thrifting karena modalnya relatif kecil dan permintaannya stabil di pasar menengah bawah,” tuturnya.
Tanpa langkah pendamping seperti itu, kebijakan pelarangan bisa menimbulkan resistensi sosial dan kehilangan sumber penghidupan bagi ribuan pedagang kecil.
Saleh menekankan bahwa kebijakan ini tidak boleh berhenti pada aspek penindakan semata. Pemerintah perlu memastikan industri tekstil nasional memiliki daya saing yang kuat agar dapat bertahan di tengah tekanan global.
Faktor-faktor seperti harga bahan baku, efisiensi logistik, biaya energi, dan ketersediaan tenaga kerja terampil masih menjadi tantangan yang perlu dibenahi untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini.
“Kebijakan penindakan impor ilegal pakaian bekas merupakan langkah yang tepat namun belum cukup. Kami menilai keberhasilan kebijakan ini akan bergantung pada keseimbangan antara penegakan hukum yang konsisten dan pemberdayaan industri serta pedagang lokal,” imbuhnya.
Pihaknya optimistis apabila kebijakan ini dijalankan dengan pendekatan yang komprehensif, maka dampaknya tidak hanya melindungi industri TPT dari praktik curang, tetapi juga dapat menjadi momentum untuk memperkuat daya saing dan kemandirian industri nasional secara berkelanjutan.



