spot_img
Jumat, April 26, 2024
spot_img

Jokowi tak Sadar terkait Hilirisasi Tambang Untungkan China

KNews.id- Kebijakan Pemerintahan Jokowi terkait peningkatan nilai tambah pertambangan di Indonesia dikritik keras oleh Ekonom Senior Faisal Basri karena belum terintegrasi dengan pengembangan industri di dalam negeri. Menurut Faisal, kebijakan yang dibuat Jokowi ini hanya akan menguntungkan industri China.

“Jadi hilirisasi itu untuk menopang industrialisasi di China. Sadar enggak sih kita?” kata Faisal Basri dalam webinar yang digelar oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi).

- Advertisement -

Faisal lantas memberikan gambaran tentang maraknya minat perusahaan China untuk mendirikan smelter di Indonesia, khususnya smelter nikel. Menurut dia, kebijakan hilirisasi saat ini lebih dominan menguntungkan para pengusaha smelter tersebut.

Dia mencontohkan, perusahaan tambang lokal harus membayar bea ekspor dan royalti, tetapi smelter tidak dikenakan. Perusahaan smelter pun bisa semakin banyak menumpuk laba karena tidak terbebani oleh pajak badan karena mendapatkan tax holiday. Terlebih lagi, smelter pun bisa mendapatkan bahan baku berupa bijih atau ore nikel dengan harga yang sangat murah.

- Advertisement -

Dengan berbagai fasilitas tersebut, perusahaan asal China lebih banyak mengantongi keuntungan jika membangun smelter di Indonesia ketimbang di negaranya.

“Kalau mereka bangun smelter di China, mereka beli nikel ore dengan harga jauh lebih mahal. Kalau Indonesia harganya murah sekali. Labanya jauh lebih besar memindahkan smelter ke Indonesia. Kalau di negeri asalnya dia bayar PPN, macam-macam, di sini enggak,” jelasnya.

- Advertisement -

Lebih lanjut, Faisal Basri pun menyindir perlakuan terhadap pengusaha smelter, yang bahkan tetap bisa melenggang, membawa pekerja asing masuk ke Indonesia walaupun di tengah kondisi pandemi cobvid-19.

“Katanya alih teknologi, training-lah, omong kosong,” ujarnya.

Faisal Basri juga menilai, pelarangan ekspor bukanlah cara yang paling baik dalam kebijakan hilirisasi. Baginya, lebih baik ada perhitungan yang lebih jelas dan komprehensif tentang tarif ekspor yang optimal untuk bisa mendistribusikan keuntungan bagi negara dan nilai tambah yang bisa dirasakan masyarakat.

“Dalam konsep ekonomi, berapa sih nilai tambah yang diterima oleh warga Indonesia? Baik pekerja, penambang, maupun pemerintah? 5 persen. 95 persen lari ke China,” kata Faisal.

Dia pun lantas mengkritisi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang dinilainya memiliki porsi besar dalam menentukan kebijakan hilirisasi pertambangan di Indonesia, seolah melebihi Menteri ESDM Arifin Tasrif.

“Pak Luhut ngomongnya hilirisasi, hilirisasi. Wajib, wajib, wajib. Nanti yang untung siapa? Indonesia enggak dapat apa-apa. Saya enggak tahu sekarang menteri pertambangannya (ESDM) Pak Luhut atau Pak Tasrif. Karena yang lebih sering saya dengar adalah Pak Luhut,” katanya.

Terkait dengan industrialisasi, Faisal Basri pun berpandangan bahwa kebijakan hilirisasi tambang malah bertolak belakang dengan kondisi industri manufaktur di Indonesia yang terus terperosok. Menurut dia, Indonesia pun tidak menjadi bagian dari rantai suplai global yang berbasis peningkatan nilai tambah.

Faisal Basri pun menyoroti kepercayaan diri Luhut Binsar yang sangat yakin Indonesia bisa menjadi pabrik baterai terbesar di dunia, khususnya dalam industri mobil listrik.

Pasalnya, ampery baterai akan tumbuh di tempat yang sudah banyak menggunakan baterai atau mobil listrik. Faisal Basri tak yakin Indonesia benar-benar akan menjadi produsen baterai terbesar di Indonesia.“Nah, Pak Luhut mimpi.

Mau bikin ampery baterai terbesar di dunia ya amper mustahil. Jadi produsen baterai terbesar di dunia? Omong kosong. Negara dapat apa? Enggak dapat apa-apa, kecuali heboh-hebohnya,” tutup Faisal. (FHD)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini