Oleh : Sutrisno Pangaribuan – Kader PDIP – Presidium GaMa Centre
KNews.id – Sebagai pecinta musik rock, barangkali Presiden Joko Widodo (Jokowi) lupa, bahwa vocalis group band rock senior, God Bless, Ahmad Albar, pernah mempopulerkan lagu “Panggung Sandiwara”. Lagu tersebut menjelaskan bahwa dunia ini panggung sandiwara, yang ceritanya mudah berubah. Semua akan berubah seiring waktu dan sesuai kepentingan atau kebutuhannya, baik cepat maupun lambat.
Maka pernyataan Jokowi yang disampaikan dalam sambutan di HUT ke-59 Partai Golkar tentang politik yang diwarnai drama, drakor, dan sinetron adalah benar. Bahkan salah seorang sutradara sekaligus aktor paling sukses, adalah Jokowi sendiri. Jokowi yang mengatakan bahwa anak- anaknya tidak tertarik politik, nyatanya hari ini anak dan menantunya walikota. Putra bungsunya jadi ketum partai, dan salah satu putranya kini jadi bakal cawapres.
Drama Jokowi dengan anak dan menantunya sebenarnya hal biasa dan lazim terjadi. Tidak ada politisi yang tidak melakukan drama demi meraih dan mempertahankan posisi politiknya. Aksi Jokowi bertanya nama- nama ikan, nama- nama suku, dan bagi- bagi sepeda adalah drama. Kunjungan ke daerah yang jalannya rusak, hingga masuk gorong- gorong adalah sinetron. Semua bentuk drama, drakor, dan sinetron politik Jokowi tersebut sama sekali bukan tentang gagasan maupun ide, namun tentang perasaan.
Jokowi memainkan peran dalam drama berjudul presiden merakyat, dalam sinetron pemimpin tak berjarak. Drakor kunjungi jalan rusak berbuah pembangunan patung pun sempurna dilakoni demi citra diri peduli. Akan tetapi semua itu sah dan mungkin terjadi di dalam politik. Sebab semua politisi memang harus bermain peran dalam drama, sinetron demi citra diri bersih, peduli, merakyat, dan tak berjarak. Drama dan sinetron dimainkan pun demi menggugah perasaan, terutama perasaan orang biasa, rakyat.
Drama Jokowi yang menggugah perasaan orang biasa lah yang membuat Jokowi terpilih, bukan karena besarnya ide dan gagasannya. Sinetron Jokowi dengan lakon orang biasalah yang menggugah perasaan rakyat sehingga memilih wong deso, Jokowi bukan memilih anak menteri, mantan menantu presiden, Prabowo Subianto. Maka sambutan Jokowi yang menyebut politik akhir- akhir ini dipenuhi drama, sinetron, drakor adalah apresiasi Jokowi terhadap para pihak yang berhasil meniru cara Jokowi, bukan ejekan apalagi hinaan.
Maka para politisi yang sedang main drama dan sinetron tidak perlu reaktif terhadap pernyataan Jokowi. Sebab Jokowi sedang menjelaskan cara sukses dalam politik, menang dalam 5 kali pemilihan bagi dirinya, dan 2 pemilihan bagi anak dan menantunya. Jokowi menjadi sutradara sekaligus aktor drama dan sinetron politik paling sukses dalam sejarah Indonesia hingga saat ini. Sehingga ada parpol rasa relawan, dan relawan rasa parpol, berbaris tegak lurus dan bersumpah setia kepada Jokowi.
Jokowi “setara” dengan Soekarno, bahkan lebih, sebab Soekarnoisme lahir pasca bung Karno wafat, sementara Jokowisme muncul saat Jokowi masih hidup. Patung Soekarno dibangun jauh setelah sang Proklamator mangkat, sementara patung Jokowi kini dibangun di desa kecil, jauh dari ibukota, saat Jokowi masih sibuk menilai sinetron dan drama politik. Satu- satunya drama dan sinetron politik yang saatnya dihentikan, tutup buku adalah drama politik KTA PDIP Gibran dan Bobby. Sebab drakor tersebut tidak penting dan tidak menggugah perasaan rakyat.
Persoalan KTA sejatinya urusan rumah tangga PDIP dan kadernya, bukan urusan publik. Jika sudah jelas terjadi pelanggaran aturan dan ketentuan partai, Gibran dan Bobby dapat diberi sanksi dari sanksi terendah hingga tertinggi, dipecat. Dan jika sudah dipecat, tidak perlu lagi ada drama pengembalian KTA, sebab KTA tersebut dapat dijadikan penanda kenangan. Atau sewaktu- waktu diaktifkan atau digunakan kembali seperti para kader yang pernah dipecat, namun kini aktif jadi caleg PDIP.
Mari terus bermain politik riang gembira dengan drama dan sinetron terbaik demi citra sederhana. Untuk meraih perasaan rakyat dengan semua suka dukanya, dengan semua beban- bebannya. (Zs/NRS)