Oleh : Sutoyo AbadiĀ
KNews.id – Filsuf dan ahli teori politik asal Swiss, Jean-jacques Rousseau (1712-1778), jauh hari sudah mengingatkan, kekuasaan mempunyai kecenderungan akan terus mempertahankan kekuasaannya untuk ambisi pribadi, dan menjelma menjadi tirani.
Persis apa yang sedang terjadi di Indonesia, Presiden Jokowi sekuat tenaga terus berusaha untuk tetap bisa bersinggasana dalam kekuasaannya. Ketika rekayasanya terbentur mencoba menaikan anak anaknya di paksakan harus menggantikan dirinya pegang kendali kekuasaan.
Tidak peduli negara sedang menuju tebing kehancurannya, yang penting tetap pegang kendali kekuasaan, karena posisi diri dan keluarganya memang dalam ancaman hukum dan kekuatan politik yang mengancam dirinya paska lengser dari kekuasaannya.
Prof Hafid Abas mengatakan Indonesia akan bubar karena didikte oleh hukum Darwin, yg kuatlah yg menang dan memangsa rakyat miskin. Indonesia juga akan hancur karena telah meletakkan dirinya di genggaman China komunis lewat jebakan utangnya (debt trap) yg kini sudah mencapai Rp 8100 triliun. Akibat negara telah dikelola secara ugal-ugalan selama 9 tahun terakhir.
Anehnya Jokowi sebagai Presiden, memiliki keistimewaan luar biasa, tidak merasa, tidak tahu dan mungkin tahu tetapi tidak peduli, terus tebar pesona dan menebar narasi keberhasilan bahkan tidak malu malu, pidato dimana mana agar programnya diteruskan oleh presiden penggantinya. Proklamasi dirinya hebat dan berhasil mengelola Indonesia selama ini
Menyewa surveyor rentalan, sesuai kebiasaan dan keberhasilannya selama ini untuk mengecoh opini tidak tanggung tanggung agar terus menyetor di media sosial bahwa tingkat keberhasilannya selama ini berproduksi pada tingkat kesukaan masyarakat diatas rata rata angka 75 sampai 90 % tanpa rasa malu bawa tipuan yang terbuka dianggap sampah oleh masyarakat luas.
Tipuan kesukaan masyarakat kepada Jokowi mendekati angka 100 %, terus muncul berdampingan dengan angka surveyor untuk kandidat Capres Cawapres rekayasanya pada angka kemenangan mutlak. Lagi lagi berhalusinasi bisa menjadi angka pemandu hitung ahir di KPU nantinya.
Beberapa ilmuan dan politisi yang telah di kontrak sebagai buser bukan saja mengamini angka angka siluman diatas, bahkan dimunculkan sebagai artikel di lengkap aksesoris teori teori verbal untuk lebih meyakinkan publik.
Masih muncul ilmuwan yang tetap beropini di jalur disiplin ilmunya seperti DR Mulyadi dari UI bahwa Jokowi telah melakukan langkah keliru bahkan bodoh dengan rekayasa melakukan politik “endorsement power” ( politik cawe-cawe ), “politization of judiciary” ( penyeludupan hukum ) di MK, “political kinship” ( memaksakan Gibran ) sebagai Cawapres dan “politikcal kinship” ( politik keluarga ) adalah politik bunuh diri.
Kaadaan di perparah Jokowi nekad tidak hanya menabrak etika publik juga menabrak norma religius, norma moral, nalar ilmiah dan nalar etik.Ā Ā (Zs/NRS)