spot_img
Rabu, April 24, 2024
spot_img

Isu Resesi Dunia Pengaruhi Sentimen Pelaku Pasar

KNews – Isu resesi dunia pengaruhi sentimen pelaku pasar. Pasar finansial Indonesia ‘babak belur’ pada pekan lalu. Kecemasan akan resesi, ditambah dengan inflasi di dalam negeri yang semakin meninggi membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dilanda aksi jual.

Rupiah juga terkena imbasnya, tetapi pasar obligasi masih bervariasi. Pada perdagangan Senin (4/6/2022), ada sedikit kabar baik dari Amerika Serikat (AS) yang bisa membuat pasar finansial Indonesia. Tetapi isu resesi dunia juga masih mempengaruhi sentimen pelaku pasar.

- Advertisement -

Analis memberikan saran divestasi investasi melihat dunia menuju resesi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini akan di bahas pada halaman 3 dan 4.

Melansir data Refinitiv, IHSG sepanjang pekan lalu jeblok hingga 3,5% ke 6.794,328 yang merupakan posisi terendah sejak 19 Mei.

- Advertisement -

Dalam 4 hari perdagangan IHSG juga tak pernah menguat, dengan investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net sell) sekitar Rp 3,9 triliun di pasar reguler, nego dan tunai.

Dengan capital outflow tersebut, sepanjang tahun ini net buy asing di pasar saham Indonesia berkurang menjadi Rp 6,1 triliun.

- Advertisement -

Sementara itu rupiah dalam sepekan tercatat melemah 0,61% ke Rp 14.935/US$, bahkan sempat menyentuh Rp 14.970/US$ yang merupakan level terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.

Selain itu, rupiah juga mencatat pelemahan 4 pekan beruntun dengan total sekitar 3,5%. Dari pasar obligasi, beberapa yield Surat Berharga Negara (SBN) justru mengalami penurunan signifikan.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield turun harganya naik, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, berarti ada aksi beli.

Yield SBN tenor 3 tahun mengalami penurunan lebih dari 21 basis poin, tenor 5 tahun bahkan lebih dari 45 basis poin. Penurunan yang tajam berarti ada aksi beli yang besar.

Isu Resesi Dunia Pengaruhi Sentimen Pelaku Pasar
Dunia Diramal Resesi Tahun Depan

SBN merupakan aset yang lebih aman ketimbang saham, memberikan return yang tetap. Penguatan beberapa SBN tersebut sementara IHSG jeblok mengindikasikan adanya rotasi investasi.

Itu artinya, para investor mengantisipasi terjadinya pelambatan ekonomi. Amerika Serikat memang diperkirakan akan mengalami resesi akibat bank sentralnya (The Fed) yang sangat agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.

Ketika negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu mengalami resesi, maka akan berimbas ke negara lainnya.

Indonesia juga tengah bersiap menghadapi inflasi yang semakin tinggi. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono Jumat pekan lalu melaporkan inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%.

Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.
Rilis tersebut lebih tinggi dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan sebesar 0,44%. Sedangkan inflasi tahunan ‘diramal’ 4,15%.

Kenaikan inflasi tersebut juga lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 4,17%, tetapi jika dilihat inflasi inti justru lebih rendah.

BPS melaporkan inflasi inti tumbuh 2,63% (yoy) dari sebelumnya 2,58% (yoy), sementara konsensus di Trading Economics memperkirakan sebesar 2,72% (yoy).

Hal ini bisa menjadi sinyal jika daya beli masyarakat mulai tergerus akibat kenaikan inflasi, yang tentunya berdampak buruk bagi perekonomian.

Penurunan daya beli tersebut terjadi akibat inflasi kelompok volatile yang menembus 2,51% (mtm) dan 10,07% (yoy). Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014 atau 7,5 tahun terakhir. Jika dilihat lagi inflasi volatile meroket di item bahan makanan yang mencapai 2,3% (mtm) dan 9,57% (yoy).

Inflasi Indonesia diperkirakan belum akan mereda pada paruh kedua tahun ini. Pemulihan ekonomi dalam negeri akan mendorong sisi permintaan sehingga tekanan inflasi, terutama inflasi inti akan meningkat.

Margo mengingatkan pemerintah juga akan menaikkan tarif dasar listrik untuk kalangan menengah ke atas mulai Juli sehingga inflasi pada kelompok harga diatur pemerintah bisa merangkak naik. Indonesia juga akan mengawali musim ajaran baru pada Juli-Agustus yang bisa mendongkrak inflasi.

Data BPS juga menunjukkan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk komoditas impor dan berbahan baku impor mengalami peningkatan yang persisten.

Termasuk di dalamnya adalah tepung terigu dan bubuk urea. IHPB industri mencapai 0,37% (mtm) dan 5,39 (yoy), IHPB pada pertanian 1,96% (mtm) dan 2,95% (yoy).

“Dampak dari pembatasan ekspor (sejumlah negara) sudah mulai sampai ke kita tetapi masih pada level perdagangan besar. Belum sampai ke konsumen,” tutur Margo.

Wall Street Lagi-Lagi Ambrol

Bursa saham AS (Wall Street) juga terpuruk pada pekan lalu. Tingginya inflasi yang membuat pendapatan perusahaan diperkirakan menurun, serta isu resesi membuat Wall Street mencatat pelemahan dalam 4 dari 5 pekan terakhir. Bahkan jika melihat lebih ke belakang, dalam 13 pekan Wall Street hanya menguat dua kali saja.

Indeks S&P 500 dalam sepekan merosot 2,21% ke 3.825,33, Dow Jones minus 1,3% ke 31.097,25 dan Nasdaq jablok 4,13% ke 11.127,85.

CNBC International melaporkan beberapa perusahaan menurunkan proyeksi penurunan proyeksi laba.

General Motors misalnya mempoyeksikan pendapatan di kuartal II-2022 di sekitar US$ 1,6 miliar sampai US$ 1,9 miliar, Proyeksi tersebut cukup jauh dari perkiraan analis yang dihimpun FactSet sebesar US$ 2,5 miliar.

“Pelemahan bursa saham yang terjadi belakangan ini akibat ekspektasi kontraksi ekonomi, laporan laba rugi akan menjadi pemicu penurunan selanjutnya. Panduan earning untuk kuartal II dan III akan menentukan seberapa besar aksi jual yang melanda,” kata Ross Mayfield, analis strategi investasi di Baird, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (1/7/2022).

Analis ternama, Michael Burry bahkan memperingatkan aksi jual yang melanda Wall Street belakangan ini baru setengah jalan.

Aktivitas manufaktur Amerika Serikat juga sudah menunjukkan pelambatan. Institute for Supply Management (ISM) melaporkan purchasing managers’ index (PMI) turun menjadi 53 pada Juni, terendah dalam 2 tahun terakhir. Pesanan baru (new order) bahkan jeblok menjadi 49,2 dari sebelumnya 55,1.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi. Artinya, pesanan baru mengalami kontraksi, dan itu menjadi yang pertama sejak Mei 2020.

Cermati Sentimen Penggerak Pasar

Wall Street sepanjang pekan lalu memang terpuruk, tetapi pada perdagangan Jumat sebenarnya mampu menguat. Hal ini bisa memberikan sedikit angin segar bagi pasar saham Asia hari ini.

Indeks S&P 500 dan Dow Jones pada perdagangan Jumat tercatat naik masing-masing 1%, sementara Nasdaq 0,9%.

Namun, secara keseluruhan sentimen pelaku pasar masih akan dipengaruhi isu resesi, tidak hanya Amerika Serikat (AS), tetapi juga secara global.

Survei terhadap chief financial officer (CFO) yang dilakukan CNBC International awal Juni lalu menunjukkan sebanyak 68% melihat perekonomian AS diprediksi akan mengalami resesi di semester I-2023.

Sementara itu bank investasi JP Morgan pada pertengahan Juni lalu mengatakan probabilitas Amerika Serikat mengalami resesi saat ini mencapai 85%, berdasarkan pergerakan harga di pasar saham.

Indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok sekitar 23%. Menurut JP Morgan, dalam 11 resesi terakhir, rata-rata indeks S&P 500 mengalami kemerosotan sebesar 26%.

Tanda-tanda Negeri Paman Sam terus bermunculan, selain data sektor manufaktur yang dibahas pada halaman sebelumnya, tingkat keyakinan konsumen juga merosot.

Data yang dirilis pada pekan lalu menunjukkan konsumen AS yang kini tidak pede menatap perekonomian.

Conference Board kemarin melaporkan tingkat keyakinan konsumen Juni merosot menjadi 98,7, dari bulan sebelumnya 103,3. Penurunan tersebut membawa tingkat keyakinan konsumen ke titik terendah dalam 16 bulan terakhir.

Angka di bawah 100 menunjukkan konsumen pesimistis, sementara di atasnya optimistis.

“Prospek konsumen semakin suram akibat kekhawatiran akan inflasi, khususnya kenaikan harga gas dan makanan. Ekspektasi kini turun ke bawah 80, mengindikasikan pertumbuhan yang lebih lemah di semester II-2022, begitu juga adanya peningkatan risiko resesi di akhir tahun,” kata Lyyn Franco, direktur ekonomi Conference Board.

Inflasi tinggi yang melanda banyak negara juga diperkirakan membawa perekonomian global mengalami resesi.

Citigroup kini memprediksi perekonomian global akan mengalami resesi dalam 18 bulan ke depan, dengan probabilitas sebesar 50%.

Citigroup melihat, dengan inflasi yang sangat tinggi, maka daya beli masyarakat yang merupakan motor penggerak perekonomian akan tergerus.

Dengan kondisi tersebut aset-aset berisiko tentunya menjadi kurang diuntungkan, bursa saham terancam mengalami aksi jual.

Apalagi, resesi jika terjadi kali ini berbeda dengan saat awal pandemi penyakit Covid-19, di mana perekonomian bisa cepat pulih begitu kebijakan pembatasan sosial dilonggarkan.

Resesi yang mungkin terjadi kali ini akibat tingginya inflasi. Jika inflasi tersebut terus tinggi dalam waktu yang lama, resesi juga bisa berlangsung lama.

Menghadapi kondisi tersebut, Anthony Watson, founder dan presiden Thrive Retirement Specialist di Michigan sebagaimana dikutip menyarankan melakukan divestasi investasi.

Menurutnya, dalam kondisi resesi, value stock atau saham-saham yang dinilai memiliki harga terlalu rendah ketimbang kinerja keuangannya, akan lebih menguntungkan ketimbang growth stock.

Value stock cenderung unggul ketimbang growth stock ketika memasuki resesi,” kata Watson sebagaimana dilansir CNBC International, Sabtu (2/7/2022).

Selain itu, iya juga menyatakan bisa mempertimbangkan masuk ke obligasi, sebab selain lebih aman ketimbang saham, imbal hasil (yield) yang ditawarkan kini cukup tinggi.

Indonesia Aman dari Resesi?

Meski dunia terancam mengalami resesi, Indonesia bisa dikatakan masih aman. Sebabnya inflasi yang masih terjaga, tetapi pelambatan ekonomi pasti terjadi.

Tanda-tanda pelambatan sudah mulai terlihat. Ekspansi sektor manufaktur mulai melambat, bahkan nyaris mengalami kontraksi.

S&P Global mengumumkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia periode Juni 2022 berada di 50,2.

PMI menggunakan angka 50 sebagai tolok ukur. Kalau masih di atas 50, maka artinya berada di zona ekspansi.

Akan tetapi, pencapaian Juni turun dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 50,8. Skor PMI manufaktur Indonesia memang sudah 10 bulan beruntun di atas 50, tetapi Juni menjadi yang terendah.

“PMI berada di posisi terendah selama periode ekspansi, hanya tipis di atas zona netral 50. Hanya ada sedikit perbaikan, yaitu di sektor kesehatan,” ungkap laporan S&P Global.

Industri pengolahan merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha. DI kuartal I-2022 kontribusinya lebih dari 19% dari total PDB. Sehingga, ketika sektor manufaktur berkontraksi, pastinya akan berdampak ke pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, inflasi yang terus merangkak naik bisa berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Berdasarkan pengeluaran, belanja rumah tangga merupakan kontributor terbesar PDB, dengan porsi mencapai 53,65% di kuartal I-2022.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menjaga inflasi tetap tindak meroket. Hal ini membuat pemerintah menambah subsidi energi, sehingga harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan gas 3 kg tidak dinaikkan.

Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga masih belum mengeluarkan “senjata pamungkas” untuk meredam inflasi, yakni suku bunga.

Hingga saat ini, BI masih enggan menaikkan suku bunga. Namun, BI siap menaikkan suku bunga ketika inflasi inti terus menanjak.

Selain itu, nilai tukar rupiah meski belakangan ini tertekan tetapi kinerjanya masih cukup bagus ketimbang mata uang Asia lainnya. Tingginya harga komoditas membuat neraca perdagangan Indonesia surplus 25 bulan beruntun.

Alhasil, transaksi berjalan juga ikut surplus dan membuat pasokan devisa mengalir ke dalam negeri. Kinerja rupiah pun tidak terlalu buruk bahkan di akhir semester I-2022 saat permintaan valuta asing biasanya besar.

Di kuartal II-2022, Bank Indonesia (BI) memperkirakan transaksi berjalan masih akan surplus.

“Transaksi berjalan pada kuartal II diperkirakan surplus, melanjutkan surplus pada kuartal sebelumnya,” ungkap Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (23/6/2022).

Rilis Data Ekonomi & Agenda Emiten

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Izin membangun dan pinjaman perumahan Australia (8:30 WIB)
  • Neraca perdagangan Jerman (13:00 WIB)
  • Inflasi Turki (14:00 WIB)
  • Recording date deviden PT Bank Pan Indonesia Tbk
  • Recording date deviden PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG Tbk
  • Penawaran umum PT Arkora Hydro Tbk
  • Penawaran umum PT Chemstar Indonesia Tbk
  • RUPS PT Alfa Energi Investama Tbk

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2021 YoY)5,01%
Inflasi (Juni 2022 YoY)4,35%
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juni 2022)3,5%
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022)4,85% PDB
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q1-2022 YoY)0,07% PDB
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2022 YoY)US$ 1,82 miliar
Cadangan Devisa (Mei 2022)US$ 135,6 miliar

(RKZ/cnbc)

 

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini