spot_img
Sabtu, April 20, 2024
spot_img

Ichsanuddin Noorsy: SM tidak Mampu Keluar dari Lingkaran Setan Neolib

KNews.id- Kritik banyak pihak atas kerja pemerintah dalam 100 hari bukan hanya tertuju kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin. Tapi juga pada Menteri Keuangan Sri Mulyani yang turut dipertanyakan usahanya dalam mengelola perekonomian Indonesia.

Kritik semakin menjadi lantaran dalam acara laporan Bank Dunia di Energy Building, Jakarta, Kamis lalu (30/1), Menkeu berpredikat terbaik dunia ini mengeluh sakit perut mendengar janji-janji politik yang dilontarkan Joko Widodo-Maruf Amin saat kampanye.

Tidak dapat diingkari, kenyataan perekonomian saat ini menguatkan keluhan mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu. Yakni, banyaknya tagihan keuangan yang harus Sri Mulyani anggarkan dalam APBN, akibat janji-janji kampanye Jokowi-Maruf itu.

Pernyataan itu menjadi bukti bahwa secara tidak langsung Sri Mulyani mengakui tidak bisa keluar dari jeratan sistem ekonomi neo liberalisme (neolib) untuk mengelola keuangan domestik. Artinya, besarnya belanja karena janji-janji bukan dalam rangka amanat konstitusi. Sedang rendahnya inflasi tidak membuat investasi asing langsung meroket.

- Advertisement -

Padahal, liberalisasi di sektor-sektor strategis sudah dilakukan, termasuk deregulasi dan debirokratisasi yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo-JK sebelumnya. Tapi, semua itu tidak dipandang sebagai hamparan karpet merah bagi investor asing, alias belum menjadi “surga” bagi investasi asing langsung.

“Dia bilang sakit perut kok, berarti dia ngeluh. Ini persoalan sempitnya ruang fiskal beriring dengan besarnya bayar cicilan pokok utang dan bunganya. Dia tidak mampu keluar dari lingkaran setan perekonomian neo liberal,” ujar Ichsanuddin Noorsy.

- Advertisement -

Mantan Komisaris Independen Bank Permata ini kemudian memberi tujuh catatan penting terkait sistem ekonomi neolib yang dijalankan Sri Mulyani. Pertama, Sri Mulyani telah gagal mengabdikan dirinya kepada investasi asing langsung, walau yang bersangkutan disebut sebagai menteri terbaik.

Respon atas kegagalan ini terlihat pada keinginan Presiden Joko Widodo untuk menghapus hambatan apapun bagi investasi asing. Tekad yang membara atas kehadiran investasi asing itu mewajibkan diberlakukannya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan.

- Advertisement -

“Semangat perjuangan yang luar biasa ini seakan tidak mampu melihat hasil Omnibus Bill di AS, yang disebut penerima Nobel Ekonomi 2001 JE Stiglitz bahwa AS mengidap kanker stadium empat dalam masalah gini rasio dan rasialis,” tuturnya.

Catatan kedua, kebijakan neolib Sri Mulyani juga dianggap Ichsanuddin Noorsy sebagai dasar kegagalan pemerintah mendongkrak penerimaan pajak di periode pertama pemerintahan Joko Widodo. Kegagalan penerimaan perpajakan ini berdampak pada kemampuan pembiayaan negara dan daya beli masyarakat.

“Hasilnya, pertumbuhan bukan hanya stagnan melamban dan daya beli menurun. Itu yang ketiga,” sebut mantan Komisaris Pelindo II ini. Catatan keempat yang disampaikan Ichasanuddin adalah kokohnya Pulau Jawa dan DKI Jakarta soal bagi-bagi kue penguasaan pembangunan ekonomi sejak era Soeharto hingga saat ini.

“Jawa menguasai 57 hingga 58 persen, termasuk DKI Jakarta sebesar 17 hingga 18 persen,” katanya. Selain itu, tingkat pengangguran yang masih tinggi dan didominasi oleh lulusan SMK, SMA, diploma dan universitas sebanyak 7,05 juta orang, membuktikan pembiayaan pendidikan gagal menjawab tantangan perekonomian dan pasar tenaga kerja. “Bersamaan dengan itu, batas kemiskinan diukur dengan 0,9 dolar AS/jiwa.

Sehingga dikuatirkan jumlah orang miskin akan meningkat di tengah ancaman resesi ekonomi. Ancaman ini sama dengan kegagalan menurunkan angka rasio gini,” ungkap Ichsanuddin Noorsy. Sehingga, lanjut Ichsanuddin Noorsy, dapat dipahami jika Indonesia memiliki masalah 3C, credibility (kredibilitas), certainty (kepastian), dan compliance (pemenuhan) sebagaimana tudingan Bank Dunia. Maka dari itu, catatan ketujuh Ichsanuddin Noorsy berkesimpulan bahwa ekonomi Indonesia dalam ketersesatan yang jauh dan mendalam pada sistem dan kebijakan ekonomi yang tidak sesuai dengan ekonomi konstitusi.

“Itu hasil pemikiran dan tindakan Sri Mulyani yang menerapkan sistem neo liberal. Juga hasil dari sistem amandemen UUD 1945,” pungkas mantan anggota DPR/MPR periode 1997 hingga 1999 ini. (Fahad Hasan&DBS)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini