KNews.id – Jakarta, Kalau kita bicara soal hopeng, jangan buru-buru cari di KBBI. Itu bukan istilah ilmiah, tapi istilah warung—warung kopi, warung judi, atau warung politik. Hopeng artinya teman dekat, tapi bukan teman sembarangan. Hopeng itu teman yang bisa diajak makan, ngutang, bahkan menutup rahasia aib masing-masing.
Nah, kalau kata orang Betawi: “Kalau udah hopeng mah, mau salah bareng juga nggak apa-apa.” Dan di situlah letak menariknya hubungan Prabowo dengan Jokowi: bukan sekadar teman seperjuangan, tapi hopeng politik—dua orang yang tampaknya tahu terlalu banyak satu sama lain untuk bisa berpisah dengan damai.
Dulu mereka saling jegal di panggung pilpres. Saling tuding, saling caci, bahkan saling meragukan moral dan kemampuan masing-masing. Tapi seperti sinetron kejar tayang, di episode berikutnya mereka sudah duduk satu meja, satu kabinet, satu senyum. Di Indonesia, musuh politik hari ini bisa jadi hopeng besok pagi, asal jabatannya pas dan kursinya empuk.
Prabowo, sang jenderal tua yang keras kepala, akhirnya memilih untuk masuk ke lingkaran kekuasaan Jokowi. Katanya demi persatuan bangsa, tapi publik tahu: persatuan di negeri ini sering kali hanyalah nama lain dari kompromi. Jokowi pun bukan orang baru dalam urusan memeluk lawan. Ia ahli dalam strategi “peluk sampai diam”—lawan dirangkul begitu erat sampai tak bisa lagi berteriak.
Dan begitulah mereka: Jokowi dan Prabowo, dua tokoh yang dulu tampak berseberangan, kini tampak begitu akrab, seolah-olah dua sahabat lama yang sedang menertawakan masa lalu. Tapi jangan salah. Hopeng politik bukan sekadar soal kedekatan, melainkan juga saling tahu di mana letak bom waktunya masing-masing.
Mungkin mereka tak selalu sejalan dalam pikiran, tapi keduanya punya satu kesamaan: sama-sama punya catatan panjang yang sebaiknya tidak dibuka di depan umum. Dari soal masa lalu, hingga permainan kekuasaan di belakang layar. Di titik itulah hopeng menjadi penting—karena dalam politik, siapa yang tahu rahasia siapa, dialah yang memegang kendali.
jaman saya sedang belajar menulis dengan gaya seenaknya melihat ini, barangkali akan nyeletuk:
“Hopeng politik itu seperti dua orang yang sama-sama menyimpan bangkai di lemari—asal jangan buka lemari masing-masing, dunia masih aman.”
Dan dunia politik memang terasa aman-aman saja, selama Prabowo dan Jokowi masih tertawa bersama. Tapi tawa politik itu sering kali seperti tawa di atas bara: hangat di luar, panas di dalam. Karena dalam setiap senyum, ada hitung-hitungan yang rumit—siapa melindungi siapa, siapa menutup aib siapa.
Kini Prabowo sudah jadi presiden. Jokowi sudah di luar lingkar kekuasaan, tapi bayangannya masih memantul di setiap dinding istana. Hubungan mereka mungkin tak lagi seimbang: yang dulu memeluk kini harus belajar melepas. Tapi dalam urusan hopeng, pelepasan itu tak semudah membuka ikatan dasi—karena di dalamnya terjalin banyak simpul rahasia.
Maka arti hopeng bagi Prabowo kepada Jokowi bukan sekadar loyalitas atau rasa hormat. Itu adalah bentuk perjanjian tak tertulis: aku lindungi kamu, kamu lindungi aku. Sebuah simbiosis politik yang halus tapi berbahaya—di mana kesetiaan lebih mirip asuransi daripada cinta.
Sebab di dunia politik kita, hopeng itu bukan urusan hati, tapi urusan file. Selama file-file itu tetap terkunci, hubungan tetap harmonis. Begitu ada yang terbuka, jangan salahkan kalau hopeng berubah jadi hopeng-pengkhianat.
Akhirnya, hopeng antara Prabowo dan Jokowi bukan cuma kisah dua tokoh besar. Ia adalah cermin dari politik Indonesia yang lentur, penuh tawa, tapi juga penuh rahasia. Hopeng yang bisa menutup aib masing-masing, sambil tersenyum di depan rakyat seolah semuanya baik-baik saja.
Dan kita, rakyat penonton setia, hanya bisa berkata dalam hati:
“Luar biasa, hopeng macam apa ini—yang bisa memaafkan masa lalu, membagi masa kini, dan mungkin, saling mengawasi masa depan.”
Begitulah politik kita, kawan.
Hangat, pahit, tapi selalu bikin penasaran untuk diseruput lagi.



