KNews.id – Jakarta, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto merasa upaya pembelaan atas dirinya sendiri selalu dijegal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terbaru, penjegalan yang dirasakan Hasto adalah pemanggilan kuasa hukumnya, Febri Diansyah pada Kamis (27/3/2025). Febri dipanggil KPK saat sedang membela Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Akibatnya, Febri harus meminta KPK menunda pemeriksaan tersebut hingga sidang selesai. Setelah sidang selesai, Febri Diansyah datang ke KPK sekitar pukul 11.45 WIB di hari yang sama.
Namun, belum 10 menit setelah Febri melakukan registrasi di lobi Gedung Merah Putih KPK, dia keluar lagi. Febri Diansyah mengungkapkan, pemeriksaannya ditunda karena penyidik cuti Lebaran. “Jadi teman-teman semua, tadi saya sudah daftar, sudah serahkan KTP, sudah dikasih lanyard sebagai tamu, dan sudah mengisi buku tamu juga,” katanya kepada wartawan pada Kamis, 27 Maret 2025.
“Kemudian, ada informasi dari bagian penyidikan bahwa hari ini karena sejumlah penyidik sedang cuti, jadi mungkin penyidik yang ada sedang melakukan tugas yang lain,” ujarnya lagi. Sontak pembatalan pemeriksaan Febri direspons pihak Hasto yang menilai KPK sengaja membuat gaduh dengan cara memanggil Febri ke KPK di saat dia harus bersidang di Tipikor.
“Kami menduga panggilan hari ini didesain untuk mencegah Febri di persidangan Hasto,” kata kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, Kamis. Meski demikian, KPK membantah pernyataan Febri yang menyebut bahwa para penyidik libur sehingga pemeriksaan ditunda.
Jubir KPK Tessa Mahardika menjelaskan bahwa penundaan pemeriksaan itu dilakukan karena penyidik yang sama sedang memeriksa adik Febri, yakni Fathoni Diansyah Edi pada waktu yang sama. “Bahwa pada hari ini, Kamis (27/3/2025) penyidik kedatangan saudara FDE yang merupakan adik kandung saudara F pada pukul 10.00 WIB,” kata Tessa.
Kehadiran adik Febri ini adalah pemeriksaan yang telah dijadwalkan ulang, karena Fathoni Diansyah tak hadir memenuhi panggilan KPK pada pemanggilan hari Senin, 24 Maret 2025. “Dikarenakan penyidik masih melakukan pemeriksaan terhadap adik kandung saudara F yaitu FDE sampai dengan hari ini, maka saudara F dijadwalkan ulang untuk dilakukan pemeriksaan berikutnya, kemungkinan pasca Idul Fitri atau Lebaran nanti,” ujar Tessa.
Pelimpahan Berkas Perkara saat Sidang Praperadilan
Upaya penjegalan yang disebut dirasakan oleh kubu Hasto juga adalah pelimpahan berkas perkara yang cepat dilakukan oleh KPK. Akibatnya, hakim tunggal praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Afrizal Hady menskors sidang tersebut. Ronny menilai, cara KPK ini seperti mempermainkan hukum karena tidak menghormati jalannya proses praperadilan.
“Hari ini kita melihat bagaimana hukum dipermainkan. Kami sudah sampaikan pada pihak KPK untuk menghormati lembaga pengadilan,” kata Ronny di PN Jakarta Selatan pada 10 Maret 2025. Kubu Hasto pun menyatakan keberatan lantaran KPK telah melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor. Padahal, mereka tengah menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka yang disematkan Komisi Antirasuah.
Di sisi lain, KPK tidak hadir dalam sidang perdana yang digelar pada Senin, 3 Maret 2025, lantaran belum siap. Padahal, menurut Ronny, praperadilan merupakan hak terdakwa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Kita sudah sampaikan bahwa kita minta agar praperadilan ini didahulukan. Tetapi apa yang kita sudah sampaikan berulang kali, kami menilai bahwa KPK dalam hal ini sengaja untuk menunda karena untuk mempercepat berkas,” ujar Ronny.
Dugaan Politisasi
Kubu Hasto juga berkali-kali menyebut bahwa ada dugaan politisasi dalam kasusnya. “Seluruh proses ini sangat kental aroma politisasi hukum,” ujar Ronny dalam konferensi pers di Kantor DPP PDI-P pada Selasa, 24 Desember 2024. Dia juga mengatakan, upaya kriminalisasi pernah disinggung Hasto di beberapa podcast politik lainnya.
Dugaan upaya kriminalisasi kepada Hasto Kristiyanto juga terlihat dari pola pengusutan kasusnya. Sebab, menurut Ronny, Hasto mulai dipanggil KPK setelah bersuara kritis terkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat usia calon wakil presiden.
“Kalau kita cermati lagi, pemanggilan Sekjen DPP PDI-P dimulai ketika beliau bersuara kritis terkait kontroversi di MK 2023 akhir,” imbuh dia. Kemudian, kasus ini sempat terhenti, dan dimunculkan lagi setelah Pemlihan Umum (Pemilu) 2024 dan kembali muncul setelah sempat tenggelam. “Kami menduga ini terlihat seperti teror oleh Sekjen PDI-P,” kata Ronny.
Meski pernyataan ini berada di luar sidang, Jaksa KPK menjawab tudingan ini di dalam persidangan. Pernyataan itu ditegaskan jaksa dalam jawaban atas nota keberatan atau eksepsi Hasto dalam sidang kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice terkait perkara eks calon anggota legislatif PDI-P, Harun Masiku.
“Dalam eksepsi terdakwa halaman 2 sampai dengan 5 dan eksepsi penasihat hukum terdakwa halaman 13 sampai dengan 40, penasihat hukum dan terdakwa berdalih bahwa dalam penanganan perkara yang dihadapi oleh terdakwa karena adanya motif politik dan unsur balas dendam sehingga untuk membungkamnya digunakan instrumen hukum,” kata jaksa dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis, 27 Maret 2025.
Jaksa pun membantah tudingan dalam eksepsi yang menyatakan bahwa kasus Hasto kental unsur politik. Menurut jaksa, dugaan unsur politik dalam perkara Hasto dinilai tidak relevan dengan alasan yang dibolehkan untuk mengajukan eksepsi.
“Terkait dengan alasan keberatan tersebut, penuntut umum berpendapat materi yang disampaikan penasihat hukum dan terdakwa tentang hal tersebut di atas adalah tidak benar dan tidak relevan dengan alasan yang diperkenankan untuk mengajukan keberatan atau eksepsi,” kata jaksa.
Jaksa pun menilai adanya dugaan unsur politik dalam penanganan perkara suap dan perintangan penyidikan yang tengah diadili ini merupakan asumsi Hasto dan penasihat hukumnya.
“Apa yang disampaikan terdakwa dan penasihat hukum dalam persidangan tahun 21 Maret 2025, merupakan pendapat penasihat hukum dan terdakwa sendiri, yang berkesimpulan atas kasus yang menimpa terdakwa lebih banyak aspek politik dengan menggunakan hukum sebagai alat pembenar yang mengarah pada terjadinya kriminalisasi hukum, sebagai akibat tindakan kritis terdakwa dengan mencari-cari kesalahan pada diri terdakwa,” kata jaksa.