KNews.id – Jakarta – Rata-rata harga bahan makanan di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diprediksi naik antara 30 sampai 59 persen beberapa waktu mendatang. Temuan tersebut mengemuka berdasarkan laporan terbaru dari studi Oxford Economics berjudul Climate Change and Food Prices in Southeast Asia – 2024 Update, bekerja sama dengan Food Industry Asia (FIA) dan ASEAN Food and Beverage Alliance (AFBA).
Kenaikan harga tersebut disebabkan karena kondisi cuaca ekstrem yang meningkat karena perubahan iklim. Selain itu, transisi energi untuk mencapai target nol emisi atau net zero emission (NZE) juga berkontribusi terhadap kenaikan harga bahan makanan.
Yogendran mengatakan, pemerintah dan para pemimpin industri didesak bersinergi dan mengatasi tantangan dalam menavigasi transisi energi di Asia Tenggara, sekaligus mengurangi dampak kenaikan biaya pangan. Yogendran menyampaikan, keluarga-keluarga di seluruh Asia Tenggara saat ini sudah merasakan dampak dari kenaikan harga bahan pangan.
Bebas Aktif di Pusaran Diplomasi Transaksional: antara Peluang dan Tantangan Artikel Kompas.id “Tanpa adanya koordinasi antara pemerintah dan industri, upaya mencapai target emisi nol bersih berpotensi untuk membuat nutrisi dasar menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat,” kata Yogendran dikutip dari siaran pers.
Saat ini di seluruh kawasan Asia Tenggara mengalami kenaikan suhu rata-rata tiga derajat celsius dibandingkan masa sebelum revolusi industri. Akibatnya, cuaca ekstrem menjadi semakin sering terjadi dan berdampak sangat buruk pada hasil pertanian. Di sisi lain, pemerintah dan sektor swasta berupaya keras untuk mencapai target nol emisi pada 2050, biaya energi, tenaga kerja, dan komponen produksi lainnya di sektor manufaktur dan distribusi mengalami peningkatan yang signifikan.
Sebagai negara yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil dan rentan terhadap fluktuasi harga pangan global, Indonesia diprediksi akan mengalami dampak paling signifikan. Peningkatan biaya bahan makanan pokok di Indonesia diperkirakan mencapai 59 persen yang akan dirasakan oleh konsumen akhir.
Situasi terseut dapat berimbas langsung pada keluarga berpenghasilan rendah yang pada umumnya membelanjakan 10 persen atau lebih dari pendapatan mereka untuk kebutuhan pangan. Berdasarkan studi Oxford Economics, setiap peningkatan suhu rata-rata sebesar 1 persen akan mendorong kenaikan harga produksi pangan sebesar 1 sampai 2 persen di negara-negara Asia Tenggara.
Di antara negara-negara di Asia Tenggara, Filipina juga tergolong paling rentan terhadap perubahan suhu. Pasalnya, Filipina akan sering mengalami cuaca ekstrem dan kapasitas produksinya tidak optimal dalam menghadapi perubahan iklim. Studi ini juga menyimpulkan bahwa perubahan iklim telah berkontribusi pada kenaikan harga pangan sebesar 6 persen di Filipina dalam 10 tahun terakhir.
Yogendran menyampaikan, kenaikan bahan makanan pokok di Asia Tenggara bakan menjadi isu global. Pasalnya, Asia Tenggara merupakan salah satu produsen makanan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari rantai pasok global.
“Kenaikan harga di kawasan ini berpotensi memicu inflasi di seluruh dunia. Oleh karena itu, semua pemerintah perlu memberikan dukungan, baik berupa keahlian maupun investasi, kepada para pengambil kebijakan di Asia Tenggara untuk mencari solusi,” papar Yogendran.