KNews.id – Jakarta, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan bahwa perkara Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak ne bis in idem.
Nebis in idem adalah prinsip hukum yang melarang seseorang untuk diadili atau dihukum dua kali atas perkara yang sama setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Pernyataan ini disampaikan hakim anggota Sigit Herman Binaji saat membacakan pertimbangan nota keberatan Hasto terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK dalam kasus dugaan suap penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku.
Dalam nota keberatannya, kubu Hasto mendalilkan bahwa kasus yang menjeratnya bertentangan dengan putusan pengadilan yang melibatkan terdakwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri.
“Majelis hakim berpendapat bahwa putusan-putusan tersebut tidak secara otomatis mengikat atau membatasi penuntutan terhadap pihak lain, termasuk terdakwa Hasto Kristiyanto yang diduga terlibat dalam tindak pidana yang sama,” kata Sigit, dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (11/4/2025).
Hakim menyatakan, putusan dalam sidang kasus suap Harun Masiku dengan terdakwa Wahyu Setiawan dan kawan-kawan tidak menimbulkan ne bis in idem untuk menjerat Hasto. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 76 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Dalam konteks hukum pidana, asas ne bis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 76 KUHP hanya berlaku terhadap orang yang sama, bukan terhadap orang yang berbeda meskipun terkait dengan peristiwa pidana yang sama atau berkaitan,” kata Hakim.
“Dengan demikian, putusan terhadap Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri tidak menimbulkan ne bis in idem terhadap terdakwa Hasto Kristiyanto,” ucap dia.
Hakim menambahkan bahwa timbulnya perbedaan fakta antara dakwaan Hasto dan putusan Wahyu dan kawan-kawan tidak bisa begitu saja menjadikan perkara Hasto batal. Oleh sebab itu, kebenaran sesungguhnya perkara yang telah didakwakan harus diuji dalam pembuktian di muka persidangan.
“Menimbang bahwa sekalipun terdapat perbedaan konstruksi fakta antara dakwaan dalam perkara ini dengan fakta yang terungkap dalam putusan terdahulu, hal tersebut tidak serta merta menjadikan dakwaan batal demi hukum, melainkan harus diuji dalam pembuktian di persidangan,” kata hakim.