spot_img
Kamis, April 25, 2024
spot_img

Guru Besar Undip: Tidak ada Niat Tendensius Edy Mulyadi Menghina Warga Kaltim

KNews.id- Wartawan senior Edy Mulyadi yang menyatakan tempat jin buang anak tidak ada niat tendensius menghina warga Kalimantan Timur (Kaltim).

“Untuk kasus Mas Edy ini dalam pandangan saya tidak ada niat tendensius atau motif tertentu untuk merendahkan, melecehkan atau menghina warga Kaltim,” kata Guru Besar Universitas Diponegoro (Undip), Prof Suteki di akun Facebook-nya.

- Advertisement -

Kata Suteki ungkapan “tempat jin buang anak” yang terucap “spontan” itu hanya merupakan ilustrasi atau padanan kata kalau tidak bisa dibilang satir terhadap kondisi geografis calon ibu kota baru tersebut.

Istilah Jin buang anak itu, telah menjadi perumpamaan umum yang sering dipakai publik untuk menggambarkan tempat yang jauh, sulit dijangkau dan mungkin melalui medan yang berat jika ditempuhnya.

- Advertisement -

Jangankan di Kalimantan, di beberapa tempat di Pulau Jawa, Sumatera pun masih banyak daerah yang bisa disebut tempat Jin buang anak. Bahkan kalau mau jujur, di wilayah yang berada dan tidak jauh dari jabodetabek masih ada lokasi yang relatif susah aksesnya atau  terisolir lalu tempat itu dijuluki “tempat jin buang anak”.

Suteki mengatakan, istilah “tempat jin buang anak” ini seperti yang disampaikan Edi Mulyadi memang tidak ada maksud buruk atau iktikad jelek apalagi niar jahat (mens rea), termasuk pada wilayah Kalimantan Timur, sehingga tidak perlu mendapatkan reaksi yang berlebihan dari siapapun.

- Advertisement -

Namun, jika ada pihak yang menuntut Mas Edy karena merasa tersinggung ya dipersilahkan, tetapi lebih baik ditempuh melalui RESTORATIVE JUSTICE, apalagi menyangkut UU ITE, terkait dgn Pasal 28 (2) UU ITE (untuk delik ujaran kebencian terkait SARA).

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran terkait penerapan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).  Ada 11 poin dalam surat tersebut, salah satunya mengatur bahwa penyidik tidak perlu melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah meminta maaf.

Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021. Dalam SE itu juga diperintahkan kepada jajaran kepolisian agar delik bisa diselesaikan dengan cara MEDIASI (Restorative Justice).

Pertanyaanya, apakah Pak Kapolri mau konsisten nggak dengan SE-nya? Suteki mempertanyakan kasus Edy Mulyadi ini merupakan  momentum serangan balasan dari kasus sebelumnya (soal bahasa Sunda) yang menimpa Arteria Dahlan, sehingga kini isu ini di-blow up dengan menggunakan isu kesukuan/kedaerahan.

Jika letterlijk, zakelijk menggunakan hukum, saya yakin penjara akan 3 kali lipat penghuninya dari kapasitas ideal. Sementara kita menganut asas pidana itu sebagai ULTIMUM REMEDIUM, sebagai langkah terakhir ketika upaya damai tidak berhasil.

“Menurut saya kasus Arteria dengan Edy Mulyadi ini beda, soal niat jahat (mens rea) khususnya. Arteria tidak secara spontan melainkan kesengajaan dengan maksud menyatakan melalui pidato ujaran kebencian terhadap penggunaan bahasa sunda yg ditandai dengan DIKSI REAL serta PERMINTAAN PENCOPOTAN terhadap Kajati Jabar yang menggunakan bahasa Sunda dalam rapat resmi. Sementara itu Edy Mulyadi mengeluarkan pernyataan yang diduga merendahkan masyarakat Kalimantan Timur SECARA SPONTAN dan diksinya adalah KATA KIASAN. Dan pernyataannya itu merupakan pernyataan yang sifatnya umum sebagai mana sudah saya jelaskan tadi,” ungkapnya.

Atas kasus Edy Mulyadi ini memang terkesan seperti sebagai KASUS TUKAR TAMBAH Arteria Dahlan namun ia berharap tidak demikian dan pelaporan atas Edy Mulyadi bukan sebagai ajang PEMBALASAN atas kasus yang menimpa Arteria Dahlan. Banyak persoalan yang membelit pemindahan IKN, maka kita mestinya tetap konsen pada SUBSTANSI PERPINDAHAN IKN bukan SIBUK pada bunga-bunga, yang malah memperkeruh suasana, misalnya persoalan pencemaran nama baik, dugaan singgung SARA dll yang sebenarnya bisa kita selesaikan secara RJ atau MEDIASI saja.

Di rezim sekarang ini ada fakta terkesan tidak banyak oposisi yang berani lantang, namun sekalinya ada yang berani, mudah sekali masuk bui. Lalu bagaimana seharusnya perilaku yang “wajib” diperhatikan oleh para pengkritik kebijakan penguasa?. Mengkritik penguasa itu bagi rakyat muslim hukumnya wajib, terkait dengan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.

“Memang harus diakui, nasib pengkritik di masa rezim yang represif saya rasakan sangat memprihatinkan meskipun yang disampaikan benar adanya, apalagi tidak benar, atau mengandung unsur pencemaran nama baik, ujaran kebencian dll sangat besar kemungkinan masuk BUI. Nah, dalam hal ini kita tidak konsisten dalam menerapkan asas Ultimum remedium dan Restorative Justice (RJ). Kita tampaknya masih menderita LEGAL ADDICTION, kecanduan hukum. Pokoknya harus diproses hukum dan masuk penjara,” pungkasnya. (Ade/SN)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini