KNews.id- Keputusan pemerintah yang menghapus limbah batubara jenis Fly Ash Bottom Ash (FABA) dari kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menuai respons beragam. Salah satu pengamat malah meminta aparat waspada akan kemunculan mafia yang memanfaatkan kebijakan ini. Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, mengungkapkan, perkembangan teknologi dapat memunculkan mafia FABA.
“Perkembangan teknologi itu kan maju sekali. Kita tidak bisa bertahan pada sebuah teknologi lama, misalnya batubara. Nah karena perkembangan teknologi dan dan sebagainya maka ternyata ada juga mafia FABA. Jadi mafia itu bukan hanya mafia BBM, mafia FABA pun ada,” ungkapnya dalam acara Polemik Trijaya secara virtual, Selasa (16/3).
Pencabutan itu dilakukan beradasarkan PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mencabut FABA dari kategori Limbah B3. Sebelumnya, PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, FABA masih masuk kategori limbah B3.
“Semua tempat pengolahan limbah itu adanya di Pulau Jawa. Kalau PLTU-nya ada di Papua, ada di Sulawesi sana, kan harus dibawa ke Jawa. Itu ongkos angkutnya rata-rata Rp1,2 juta per ton. Dan itu uang banyak, kalau menimbun kan ada hukumannya. Nah itu semua kan lalu timbul mafia, kalau ditumpuk terus kan tinggi,” tambah dia.
Menurut dia, setelah melakukan pengecekan, FABA menjadi limbah karena berada di bawah ambang yang dipersyaratkan.
“Jadi saat itu hanya khusus untuk PLTU. Karena cost yang dikeluarkan PLTU itu menjadi apa? Kan dimasukkan ke tarif. Kalau masuk ke hitungan subsidi lalu masuk ke PDL yang kita bayar. Berapa jumlahnya enggak tahu saya, karena angka itu kan yang tahu PLN. Jadi artinya ini kerugiannya menjadi besar. Nah ini yang mengelola lebih sedikit, tapi sekarang adalah bagaimana mengoptimalkan itu,” ujar Agus.
Sementara itu, menurutnya, dahulu FABA dilarang karena jumlahnya yang besar sehingga sulit dikendalikan. Oleh karena itu FABA masuk dalam kategori B3. (Ade)