KNews.id – Eropa sedang menghadapi ancaman eksistensial terbesarnya dalam beberapa dekade. Rusia di bawah Vladimir Putin tampaknya bertekad bulat tidak hanya menghancurkan Ukraina, tetapi juga merusak persatuan NATO dari dalam.
Mantan Presiden AS Ronald Reagan di era Perang Dingin pernah berkata,”Sejarah mengajarkan bahwa perang mulai ketika pemerintah merasa harga agresi itu murah.” Reagan kala itu menggelontorkan anggaran pertahanan besar-besaran yang akhirnya mempercepat keruntuhan Uni Soviet, sebagaimana tertulis dalam laporan khusus Majalah The Economist
Kini, Eropa dipaksa membayar harga mahal untuk menghentikan ambisi Putin. Mereka harus mengirim sinyal tegas: dukungan untuk Ukraina akan terus mengalir sepanjang diperlukan, dan Moskow tidak mungkin memenangkan perang jangka panjang.
Ironisnya, Eropa harus menghadapi tantangan ini hampir sendirian. Di bawah kepemimpinan Donald Trump, Amerika perlahan menarik diri dari perannya sebagai penjaga keamanan Eropa. Trump secara terbuka mempertanyakan nilai aliansi tradisional, terutama NATO (Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara), yang selama puluhan tahun menjadi pilar utama keamanan kolektif Eropa pasca-Perang Dingin.
Penarikan diri ini terlihat dari kritik keras Trump terhadap anggota NATO yang dianggap tidak memenuhi kewajiban pengeluaran pertahanan mereka, yaitu target 2% dari PDB. Trump mengancam akan mengurangi komitmen AS untuk membela sekutu yang “menunggak” atau bahkan keluar dari NATO sama sekali.
Hal ini berbeda drastis dari jaminan keamanan tak tergoyahkan yang diberikan oleh presiden-presiden AS sebelumnya. Pernyataan dan ancaman ini menciptakan ketidakpastian besar di Eropa, memaksa negara-negara Eropa untuk mulai memikirkan kemandirian pertahanan mereka sendiri.
Selain NATO, penarikan diri AS terlihat dari keputusan Trump untuk menarik diri dari perjanjian internasional kunci yang berdampak pada keamanan Eropa, seperti Perjanjian Kekuatan Nuklir Jarak Menengah (INF Treaty) dengan Rusia.
Keputusan semacam ini, yang sering kali diambil tanpa konsultasi mendalam dengan sekutu Eropa, membuat Eropa merasa rentan terhadap ancaman Rusia yang meningkat. AS di bawah Trump tidak lagi berperan sebagai pemimpin orkestra keamanan transatlantik, melainkan sebagai mitra yang tidak dapat diprediksi dan menuntut.
Sebagai respons, ungkapan tersebut menyoroti bagaimana Eropa dipaksa untuk “dewasa” dalam urusan pertahanan mereka. Negara-negara Eropa mulai meningkatkan anggaran militer mereka dan mendiskusikan inisiatif pertahanan bersama yang lebih mandiri dari AS, seperti konsep “otonomi strategis” Uni Eropa.
Secara keseluruhan, maksud ungkapan itu adalah bahwa kepemimpinan Trump secara efektif merombak tatanan keamanan pasca-Perang Dingin, di mana Eropa tidak bisa lagi secara otomatis mengandalkan payung keamanan AS yang kuat dan stabil.
Tangkapan layar siaran televisi Presiden Prabwo Subianto bersama Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping di Parade Militer Cina, Rabu (3/9). – (Tangkapan layar Xinhua News)
Biaya Menghentikan Putin
Situasi ini memunculkan pertanyaan kritis: berapa besar biaya yang sanggup dibayar Eropa untuk menghentikan Putin?
The Economist membeberkan angka konkret. Studi ekonomi Barat menunjukkan Ukraina membutuhkan sekitar $389 miliar antara 2026-2029. Jumlah ini sama dengan Rp6,5 kuadriliun. Uang sebanyak itu digunakan untuk biaya tunai, persenjataan, dan rekonstruksi awal, nyaris dua kali lipat dari total bantuan Eropa sejak sebelum perang Februari 2022 yang mencapai $206 miliar.
Jika Eropa mendanai penuh kebutuhan ini, Uni Eropa dan negara anggotanya harus menyediakan $328 miliar, sementara Inggris menyumbang $61 miliar. Pendanaan harus berlanjut bahkan setelah gencatan senjata, karena Ukraina perlu mengisi ulang amunisi dan mempertahankan pasukan sebagai bentuk pencegahan.
Angka-angka fantastis ini berarti negara-negara Eropa harus menggandakan porsi dukungan mereka dari 0,2% menjadi 0,4% PDB, sebuah lompatan signifikan di tengah tekanan ekonomi global.
Rincian anggaran militer Ukraina sungguh mencengangkan. Militer mereka menghabiskan $65 miliar per tahun, sementara belanja pemerintah lain mencapai $73 miliar. Padahal pendapatan domestik hanya $90 miliar, sehingga defisit $50 miliar per tahun harus ditutup bantuan luar.
Meski Uni Eropa mengalokasikan $15 miliar hingga 2027, kesenjangan yang harus ditutup tetap sangat besar. Kyiv juga bergantung pada sumbangan senjata senilai $40 miliar tahun ini.
Salah satu solusi kreatif yang diusulkan adalah memanfaatkan $163 miliar aset Rusia yang dibekukan di Eropa untuk membuat “pinjaman kompensasi”, mekanisme dimana Ukraina mendapat dana yang hanya akan dilunasi jika Moskow bersedia membayar kompensasi di masa depan. Sayangnya, Belgia memblokir rencana ini karena khawatir dengan risiko keuangannya.
Perdebatan juga terjadi soal tempat produksi senjata. Eropa ingin mengurangi ketergantungan pada persenjataan Amerika, namun tetap membutuhkan sistem sensitif seperti rudal Patriot dan HIMARS dari AS.
Di bidang lain, Eropa menunjukkan kemajuan. Kyiv baru saja menandatangani kesepakatan pembelian 100-150 jet tempur Gripen dari Swedia, yang dinilai The Economist sebagai pilihan paling sesuai kebutuhan Ukraina.
Prancis mendorong agar dana Eropa dipakai memperkuat industri pertahanan lokal, sementara negara Eropa utara dan tengah lebih memilih membeli senjata dari AS atau Korea Selatan. Kompromi tengah kemungkinan akan dicapai.
Kyiv bersikukuh memegang kendali akhir atas penggunaan dana, menganggap industri drone mereka cukup kompetitif. Namun kekhawatiran korupsi membuat beberapa ibu kota Eropa mengusulkan model produksi bersama.
Vladislav Rashkovan, perwakilan Ukraina di IMF, menyimpulkan dengan nada tegas: “Eropa kini tampak bersemangat dan menanggapi ancaman Rusia dengan serius. Kini, ini bukan hanya tentang Ukraina, melainkan tentang Eropa.”



