spot_img

Duet Jokowi dan Moeldoko Untuk Penyelamat PPP di Tengah Kemerosotan Politik Islam

Oleh : Nazar El Mahfudzi – Pengamat Politik & Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID)

KNews.id – Jakarta, Dalam lanskap politik pasca-Pemilu 2024, peta kekuatan partai Islam menunjukkan sinyal yang mengkhawatirkan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)—salah satu partai tertua dan berbasis Islam—kembali berada di ujung tanduk setelah berkali-kali nyaris tak lolos ambang parlemen. Dalam situasi inilah, muncul gagasan menarik: membuka ruang bagi figur nasional seperti Joko Widodo dan Moeldoko untuk menjadi motor penggerak kebangkitan partai.

- Advertisement -

Jokowi: Figur Transformatif Pasca-Kekuasaan

Joko Widodo adalah fenomena politik. Dua periode memimpin Indonesia dengan gaya sederhana, membumi, namun efektif, menjadikannya magnet politik lintas partai dan kelas sosial. Kini, ketika ia tak lagi menjabat sebagai presiden, muncul pertanyaan besar: ke mana Jokowi akan berlabuh secara politik?

PPP bisa menjadi jawabannya. Mengapa? Karena partai ini membutuhkan penyegaran besar-besaran. Dan Jokowi memiliki semua unsur untuk membawa PPP ke arah itu: legitimasi publik, jaringan kekuasaan, dan kemampuan manajerial. Ia bukan hanya sekadar vote-getter. Ia adalah simbol transformasi politik nasional yang masih hidup.

- Advertisement -

Moeldoko: Stabilitas dan Strategi dari Dalam Geopolitik Stabilitas Nasional 

Di sisi lain, Moeldoko, mantan Panglima TNI dan Kepala Staf Kepresidenan, adalah sosok yang memahami seluk-beluk kekuasaan dari sisi teknokratis dan struktural geopolitik stabilitas nasional telah teruji dalam era kepemimpinan Joko Widodo. Ia punya kapasitas strategis dan ketegasan dalam pengelolaan organisasi.

Duet Jokowi–Moeldoko dalam konteks PPP bukan hanya ideal, tetapi juga strategis. Yang satu populer dan visioner, yang satu stabil dan terstruktur. Kombinasi ini bisa menjelma menjadi mesin politik baru yang membangkitkan PPP dari tidur panjangnya.

PPP Butuh Rebranding, Bukan Sekadar Nostalgia

PPP hari ini tak bisa lagi mengandalkan nostalgia ideologi atau basis tradisional semata. Zaman telah berubah. Pemilih muslim kini lebih rasional, urban, dan digital. Mereka ingin partai yang tidak hanya menjual simbol agama, tapi juga punya gagasan konkret soal ekonomi, pendidikan, dan masa depan bangsa.

Maka langkah membuka pintu bagi Jokowi dan Moeldoko bukan bentuk “menjual diri”, tetapi bentuk rebranding politik Islam yang lebih modern, inklusif, dan kompetitif

Dalam teori partai politik ala Giovanni Sartori, partai kecil yang ingin bertahan dalam sistem multipartai harus bersedia melakukan adaptasi ekstrem—termasuk menggandeng tokoh eksternal yang bisa mengangkat citra dan suara.

- Advertisement -

Sementara teori kharisma ala Max Weber menyebutkan bahwa pemimpin karismatik bisa menggantikan struktur formal selama publik memberi legitimasi. Jokowi, dengan popularitasnya yang masih tinggi, bisa menjadi katalisator legitimasi baru untuk PPP.

PPP Jangan Takut Berubah

Politik selalu dinamis. Yang bertahan bukan yang paling tua, tapi yang paling adaptif. Jika PPP benar-benar serius ingin bangkit, maka duet Jokowi–Moeldoko adalah pilihan berani yang layak dipertimbangkan. Bukan untuk menghapus identitas partai, tapi untuk menyuntikkan energi baru bagi politik Islam yang modern, moderat, dan relevan.

Saatnya PPP tidak hanya menjadi partai sejarah, tapi juga partai masa depan.

(FHD/NRS)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini