KNews.id – Jakarta – Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyebut, permasalahan teknis dalam penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax berimbas pada defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp 31,2 triliun pada Februari 2025. Meski Coretax didesain untuk memudahkan administrasi perpajakan negara, ketidaksiapan implementasinya justru menghambat penerimaan negara.
“Ketika diimplementasikan sejak 1 Januari, implementasi ini kemudian menimbulkan permasalahan-permasalahan teknikal dalam pelaksanaan di lapangan, sehingga mengganggu data-data penerimaan pajak kita, mengganggu akses pembayaran pajak kita dan sebagainya,” kata Misbakhun dalam acara Capital Market Forum 2025, di Jakarta, Jumat (21/3/2025).
Misbakhun menjelaskan bahwa penerimaan pajak mengalami penurunan hingga 30 persen pada Februari 2025. Begitu juga dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang turut mengalami penurunan akibat lesunya harga komoditas, meski masih dalam batas normal. Di sisi lain, penerimaan kepabeanan dan bea cukai justru mengalami kenaikan mencapai Rp 52,5 triliun atau tumbuh 2,1 persen dibandingkan tahun lalu.
“Karena penerimaan bea cukai juga naik, sebenarnya tidak sewajarnya penerimaan pajaknya turun. Tidak sewajarnya penerimaan pajaknya turun. Karena apa? Kalau penerimaan kepabeanan dan cukainya naik, penerimaan pajak pasti naik. Jadi kalau ada penerimaan pajak turun, pasti ada problem teknikal Coretax yang belum bisa kita jelaskan di mana letak permasalahan yang sebenarnya,” ujarnya pula.
Kendati demikian, ia optimistis bahwa penerimaan negara akan mengalami pemulihan pada Maret dan April 2025 seiring masuknya pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) dari wajib pajak individu dan korporasi ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
“Situasi ini pasti biasanya kita akan mengalami rebound ketika kita (masuk) bulan Maret dan bulan April ketika SPT PPh perorangan dan PPh korporasi itu tahunannya masuk kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dan kita mulai recover, dan kemudian baru kita PPh Pasal 25 dan seterusnya itu mulai di bulan-bulan selanjutnya,” kata dia lagi.
Kemudian Misbakhun kembali menambahkan pentingnya kehati-hatian dalam mengelola APBN. Komisi XI DPR RI, katanya, terus berupaya menjaga defisit tetap berada di angka 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sebelumnya, Kementerian Keuangan membantah sistem Coretax menjadi pemicu melambatnya penerimaan pajak hingga Februari 2025. Realisasi penerimaan pajak pada Januari hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp 187,8 triliun. Angka itu turun signifikan bila dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 269,02 triliun. Namun, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyatakan, perlambatan itu merupakan suatu hal yang normal.
“Tidak ada hal yang anomali, sifatnya normal saja,” kata Anggito dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025 di Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Secara tren historis, penerimaan pajak pada bulan Januari dan Februari cenderung menurun dibandingkan Desember tahun sebelumnya. Penerimaan akan meningkat pada Desember imbas Natal dan Tahun Baru. Kemudian, penerimaan menurun usai pergantian tahun seiring dengan kembali normalnya transaksi penerimaan.
Adapun untuk pajak Januari dan Februari 2025, Anggito menyebut ada dua faktor yang memicu perlambatan penerimaan, yaitu penurunan harga komoditas dan dampak kebijakan administratif.
Pada Januari-Februari, sejumlah komoditas utama mengalami penurunan harga, di antaranya batu bara (-11,8 persen), brent (-5,2 persen), dan nikel (-5,9 persen).
Sedangkan dari segi kebijakan administratif, penerapan tarif efektif rata-rata (TER) menjadi salah satu yang mempengaruhi kinerja pajak. Anggito menjelaskan, penerapan TER pajak penghasilan (PPh) 21 sejak Januari 2024 menimbulkan lebih bayar sebesar Rp16,5 triliun pada 2024. Lebih bayar itu kemudian diklaim kembali pada Januari dan Februari 2025. Selain TER, relaksasi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri (DN) menjadi faktor berikutnya.
Pada 2025, pemerintah memberikan kebijakan relaksasi pembayaran PPN DN selama 10 hari, sehingga pembayaran bisa dilakukan hingga 10 Maret 2025. Bila dampak relaksasi juga dihitung, maka rata-rata penerimaan PPN DN periode Desember 2024-Februari 2025 mencapai Rp69,5 triliun atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp64,2 triliun, atau tumbuh sekitar 8,3 persen.
“Itu menjelaskan kenapa pola Februari 2025 agak berbeda dengan pola tahun sebelumnya. Tapi, setelah dinormalisasi dan dampaknya diketahui sampai dengan 10 Maret, maka polanya sama seperti yang normal,” ujar Anggito.