KNews.id – Jakarta, Apa perbedaan antara musibah dan azab dalam Islam? Kedua kata ini seringkali dikaitkan dengan ‘bencana’ yang terjadi. Seperti peristiwa kebakaran hebat yang melanda kota Los Angeles beberapa waktu lalau maupun kebakaran yang saat ini melanda Israel.
Kebanyakan orang-orang menilai bencana tersebut merupakan azab dari Allah SWT. Kata muṣībah (Indonesia: musibah) berasal dari kata a-ṣāba yang berarti sesuatu yang menimpa kita.
Kata muṣībah dalam Al-Quran secara umum mengacu pada sesuatu yang netral, tidak negatif atau positif, sekalipun terdapat beberapa ayat yang mengaitkan dengan sesuatu yang negatif.
Kata musibah dalam bahasa Indonesia selalu dikaitkan dengan semua peristiwa yang menyakitkan, menyengsarakan, dan bernilai negatif yang menimpa manusia. Musibah dalam konteks ini merupakan peristiwa yang menimpa manusia baik yang berasal dari peristiwa alam maupun sosial.
Dalam istilah Al-Quran , apa saja yang menimpa manusia disebut dengan “musibah”, baik yang berwujud kebaikan atau keburukan bagi manusia.
Seperti dijelaskan dalam SuratAl Hadid ayat 22-23. Allah juga menjelaskan bahwa jika “musibah” yang berupa kebaikan, maka hal itu berasal dari Allah, dan bila “musibah” berupa keburukan –yang kemudian disebut dengan bencana, maka karena perbuatan manusia sendiri (QS. An Nisa: 79).
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan bahwa musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535).
Sedangkan Imam al-Baidhawi menyebutkan bahwa musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431).
Dalam Al Quran, kata musibah disebutkan di 10 ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum muslim untuk meyakini bahwa semua musibah itu datang dari Allah Swt, dan atas izin-Nya.
Allah SWT berfirman :
مَاۤ اَصَابَ مِنۡ مُّصِيۡبَةٍ اِلَّا بِاِذۡنِ اللّٰهِؕ وَمَنۡ يُّؤۡمِنۡۢ بِاللّٰهِ يَهۡدِ قَلۡبَهٗؕ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ
Maaa asaaba mim musii batin illaa bi-iznil laah; wa many yu’mim billaahi yahdi qalbah; wallaahu bikulli shai;in Aliim
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Taghâbun [64]: 11).
Azab dan Pengertiannya dalam Al Quran Tentang azab,Imam Ibnu Mandzur dalam Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585 menjelaskannya sebagai berikut:
Secara literal, azab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan [hukuman]) Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir.
Allah SWTberfirman,
خَتَمَ اللّٰهُ عَلَىٰ قُلُوۡبِهِمۡ وَعَلٰى سَمۡعِهِمۡؕ وَعَلٰىٓ اَبۡصَارِهِمۡ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS al-Baqarah [2]: 7)
Kemudian ayat : “Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akherat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.” (QS al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya.
Namun demikian, kata azab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia. Allah Swt. berfirman, “Tak ada suatu negeri pun yang durhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab lauhulmahfuz.” (QS al-Isrâ’ [17]: 58)
Menurut Ali ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiat kepada perintah Allah SWT mendustakan Rasul-rasul-Nya, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), maupun ditimpa dengan hukuman yang amat keras (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).
Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman, “Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.” (QS al-Fath [48]: 25)
Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengazab orang-orang kafir dengan azab yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri mereka-negeri mereka.” (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48).
Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWTyang lain, yakni, “Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka.” (QS al-Hasyr [59]: 3) Ayat ini bercerita tentang pengusiran Bani Nadzir, sekaligus mengisahkan bahwa jikalau Allah Swt.. tidak menetapkan hukuman pengusiran terhadap Bani Nadzir, niscaya mereka akan diazab dengan pembunuhan (al-qatl).
Hukuman bagi mereka cukup dengan pengusiran, bukan pembunuhan seperti halnya hukuman bagi Yahudi Bani Quraidzah. Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa azab tidak hanya berasal dari Allah SWT, tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, yakni berupa hukuman atau sanksi di kehidupan dunia.
Penyebab Datangnya Azab Allah Pada dasarnya, penyebab datangnya azab Allah Swt adalah kezaliman, kemaksiatan, dan kefasikan. Allah SWT telah menyatakan hal ini di beberapa ayat; diantaranya adalah firman Allah Swt.,
“Dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman.” (QS al-Qashash [28]: 59) “Maka tidak dibinasakan kecuali kaum yang fasik.” (QS al-Ahqâf [46]: 35) “Kami telah membinasakan mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa (al-mujrim).” (QS ad-Dukhân [44]: 37)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa azab Allah hanya akan dijatuhkan kepada penduduk negeri yang melakukan kezaliman, kemaksiatan, dan kefasikan. Dengan kata lain, azab Allah hanya akan dijatuhkan tatkala peringatan-peringatan Allah Swt. melalui lisan Rasul-Nya telah diabaikan dan didustakan.
Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa azab Allah bisa saja mengenai orang-orang mukmin tatkala mereka enggan mencegah kemungkaran, padahal mereka mampu melakukannya.
Dari Adi bin Umairah dituturkan, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya, akan tetapi mereka tidak menolaknya.
Apabila mereka melakukannya, niscaya Allah akan mengazab orang yang melakukan kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” (HR Imam Ahmad)
Sedangkan azab manusia, baik berupa pembunuhan, teror, pengusiran, dan lain sebagainya semata-mata tergantung dari kehendak manusia itu sendiri. Contohnya, Firaun pernah mengumumkan hukuman bunuh bagi bayi yang lahir laki-laki.
Rasulullah saw. menghukum Bani Quraidzah dengan pembunuhan atas pengkhianatan mereka. Nabi saw. juga pernah mengusir Bani Nadzir dari kota Madinah, sebagai hukuman atas makar yang mereka lakukan.
Jenis-Jenis Azab Allah Azab Allah SWT ada dua jenis.
- Pertama, azab yang ditimpakan kepada penduduk suatu negeri yang berakibat musnahnya penduduk kota tersebut (isti’shâl).
- Kedua, azab yang sangat keras, tetapi tidak sampai memusnahkan penduduk negeri tersebut.
Azab jenis pertama dijatuhkan Allah Swt. kepada umat terdahulu, seperti kaumnya Nabi Nuh, kaum Tsamud, dan lain sebagainya. Kaum-kaum tersebut telah dimusnahkan Allah Swt. akibat pengingkaran mereka terhadap tanda-tanda kebesaran Allah Swt..
Sebab, jika tanda-tanda kebesaran Allah Swt. telah ditunjukkan kepada suatu kaum, tetapi kaum tersebut tetap saja ingkar dan mendustakan Allah dan Rasul-Nya, Allah Swt. pasti akan memusnahkan kaum tersebut.
Allah SWT berfirman, “Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu tertulis di dalam kitab (lauhulmahfuz).
Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Kami, melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (QS al-Isrâ’ : 58-59) Allah Swt. telah menetapkan bahwa orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kekuasaan-Nya akan dimusnahkan Allah Swt.
Tanda kebesaran Allah ini pernah diberikan kepada rasul-rasul terdahulu; misalnya, unta betinanya Nabi Shaleh bagi kaum Tsamud. Sayangnya, kaum Tsamud mengingkari tanda kebesaran Allah ini.
Akhirnya kaum Tsamud dimusnahkan dari muka bumi. Mayoritas ahli tafsir menyatakan, bahwa ayat ini berhubungan dengan permintaan orang-orang Quraisy kepada Nabi saw. agar beliau saw. menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai bukti kebenaran kenabian dan risalahnya.
Akan tetapi, Allah Swt. memberitahu Nabi saw., bahwa jika Allah mengabulkan permintaan mereka, tetapi mereka tetap saja ingkar dan mendustakan tanda-tanda kebesaran Allah tersebut, niscaya mereka akan dimusnahkan, sebagaimana kaum-kaum terdahulu (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).
Oleh karena itu, Allah Swt. tidak mengiyakan permintaan kaum Quraisy tersebut, dikarenakan Ia tidak ingin memusnahkan kaum Quraisy. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa azab isti’shâl (pemusnahan) tidak akan menimpa umat Muhammad SAW. Namun, umat Muhammad saw. tidak luput dari azab yang keras, jika mereka melakukan kezaliman, kefasikan, dan kekufuran.
Akibat Penguasa Zalim
Jika penguasa atau pembesar-pembesar suatu negeri atau kota melakukan kemaksiatan, kedurhakaan, dan kezaliman, niscaya Allah akan mengirimkan azab kepada penduduk negeri tersebut. Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah Swt.), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu.
Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Al-isrâ’ [17]: 16). Ibnu Abbas tatkala menafsirkan ayat ini menyatakan, “Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiat di dalamnya, maka Allah Swt.
akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut dengan azab.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 371). Di ayat lain, Allah Swt. telah mendiskripsikan kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia.
Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS ar-Rûm [30]: 41).
Imam Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan kerusakan (pada ayat tersebut) adalah paceklik al-jadb), kebakaran yang merajalela, ketenggelaman, hilangnya keberkahan, dan banyaknya kelaparan, akibat kemaksiatan dan ulah perbuatan manusia.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 2, hal. 106).
Menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud kerusakan adalah berkurangnya hasil-hasil pertanian dan buah-buahan karena kemaksiatan manusia. Sebab, baiknya bumi dan langit tergantung dengan ketaatan (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, hal. 57).
Kezaliman penguasa dan keengganan rakyat melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa merupakan pemicu datangnya azab dari Allah Swt..
Sebaliknya, ketaatan kepada Allah Swt. merupakan kunci bagi perbaikan bumi dan seisinya. Hikmah Seorang mukmin harus meyakini bahwa seluruh musibah yang menimpa dirinya berasal dari Allah SWT. Sebab, tidak ada satupun musibah yang terjadi di muka bumi ini, kecuali atas kehendak dan izin Allah Swt.
Akan tetapi, seorang mukmin juga wajib mengimani adanya musibah-musibah yang disebabkan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Sesungguhnya, musibah maupun azab yang ditimpakan Allah Swt. kepada manusia ditujukan agar mereka kembali mentauhidkan Allah Swt., dan menjalankan seluruh syariat-Nya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Sayangnya, banyak orang memandang musibah sebagai peristiwa dan fenomena alam biasa, bukan sebagai peringatan dan pelajaran dari Allah Swt. Wallahu A’lam