spot_img
Jumat, April 19, 2024
spot_img

Bukan Cuma Karena Covid, Ini Biang Kerok Utang Indonesia Menumpuk!

KNews.id- Belakangan waktu utang kembali menjadi pembicaraan hangat di tengah publik. Benar bahwa penumpukan utang dikarenakan kebutuhan belanja yang tinggi karena pandemi covid-19, tapi ada persoalan lain yang cukup serius.

Adalah imbal hasil atau yield dari Surat Berharga Negara (SBN). Beberapa pihak menilai posisi yield SBN 10 tahun terlalu tinggi, kini ada di level sekitar 6,2%.

- Advertisement -

“Yield SBN kita ketinggian segitu,” ungkap Chatib Basri, Ekonom Senior kepada CNBC Indonesia.

Pemerintah harusnya mencermati lebih serius persoalan ini. Apabila yield masih tetap tinggi maka kewajiban pemerintah untuk melunasi pembayaran utang juga akan lebih besar. Lihat saja tahun depan, bunga utang yang harus dibayar pemerintah mencapai Rp 405 triliun.

- Advertisement -

Beberapa indikator yang menjadi persepsi investor yang turut mempengaruhi yield di antaranya adalah inflasi dan nilai tukar rupiah. Inflasi, menurut Chatib masih dalam level yang rendah. Bahkan belum ada tanda-tanda kenaikan inflasi yang drastis, seiring dengan pemulihan ekonomi yang terbatas.

Chatib mencurigai, masih ada kekhawatiran investor akan depresiasi dalam pada nilai tukar. Padahal data menunjukkan kondisi rupiah secara fluktuasi cukup stabil meskipun ada pelemahan. Bahkan bila ada tapering Amerika Serikat (AS) rupiah diperkirakan masih berada di bawal level 15.000 per dolar AS.

- Advertisement -

“Dugaan saya itu ekspektasi depresiasi, makanya kenapa yield itu begitu tinggi. Tapi kondisi rupiahcenderung stabil. Harusnya yield bisa lebih rendah dari sekarang,” terangnya.

Chatib optimistis SBN masih tetap laris sekalipun yield berada di level 4-5%. Selain fundamental ekonomi Indonesia yang menjanjikan, selisih dengan yield US Treasury juga masih lebar.

“Selisihnya jauh, bisa 3% lebih, tinggi banget investor dapat segitu. Dulu investor dikasih selisih 1% saja mau,” kata Mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Hendri Saparini. Bila tidak diturunkan, beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semain berat.

“Tidak masalah utang terhadap PDB masih aman, tapi negara seperti Malaysia utang terhadap PDB-nya naik, tetapi yang terjadi yield yang mereka tawarkan jauh lebih rendah dari kita, kita 6% mereka 3-3,5%, oleh karena itu desain kesinambungan fiskal kita sangat penting,” jelasnya.

Berdasarkan data yang dihimpun CNBC Indonesia, yield obligasi Malaysia 10 tahun kini berada di level 3,2%. Thailand bahkan jauh lebih rendah dengan 1,5%, dan Filipina sebesar 4,2%. Turki dan Brasil memang jauh lebih tinggi, yaitu 17% dan 10% namun risiko kedua negara tersebut juga jauh lebih berat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyadari hal tersebut menjadi beban negara. Akan tetapi banyak variabel yang menjadi penentu yield SBN, sehingga harus disikapi dengan seksama.

“Saya setuju yield harus diturunkan,” ungkap Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada hari ini.

“Kami melihatnya banyak variabel, kalau ini ditekan seperti teori balon ada di sebelah sana ada implikasinya. Kan gak mungkin hanya untuk menyenangkan yang ini ditekan yang lain dibiarkan. Karena makro ekonomi itu ada sektor-sektornya. Jadi harus dijaga bersama,” paparnya.

Sri Mulyani bersama Bank Indonesia (BI) berkomitmen akan menjaga kestabilan pasar obligasi negara terhadap berbagai ancaman. Khususnya tapering dari Amerika Serikat (AS) yang dimungkinkan terjadi tidak lama lagi. (Ade/cnbc)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini