KNews.id – Penyaluran kredit industri perbankan tercatat melambat di semester I-2023. Mengutip data Bank Indonesia, industri perbankan menyalurkan kredit senilai Rp 6.636,1 triliun, naik 7,7% secara tahunan (yoy), ini di bawah rentang target BI yakni 9%-11%.
Bank pelat merah PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) atau BNI mencatatkan pertumbuhan kredit yang terbilang kecil, yakni sebesar 4,9% dengan besaran Rp 650,8 triliun pada semester I-2023. Sebelumnya pada kuartal I-2023, bank pelat merah itu mencatatkan pertumbuhan kredit sebesar7,2% yoy dengan besaran Rp 634,3 triliun.
Direktur Utama BNI Royke Tumilaar menyampaikan bahwa lesunya pertumbuhan kredit perbankan ini tidak bisa dilihat dari satu “potret” saja. Ia menyebut belanja pemerintah yang terlambat juga menjadi salah satu faktor yang melemahkan pertumbuhan kredit.
“Mungkin pada saat itu kadang-kadang memang belanja pemerintah mungkin terlambat. Itu juga salah satu faktor mendorong pertumbuhan kredit. Jadi itu kan menstimulus begitu pemerintahspendingcepat, proyek juga jalan di daerah jalan, tentunya ekonomidemandatau permintaan kredit akan tumbuh dengan otomatis,” ujar Royke pada BUMN.
Menurutnya, belanja pemerintah di semester I-2023 sedikit lambat, karena pemerintah cenderung untuk mengejar penghimpunan dana terlebih dahulu. Royke berharap pemerintah akan mengakselerasi belanja di semester II-2023, sehingga keterlambatan di semester I-2023 dapat tertutup.
“Tapi yang paling nomor satu sih sebenarnya begitu pemerintah cepat belanjanya, daerah juga akan dengan cepat untuk melakukan aktivitas proyek-proyeknya supaya pertumbuhan kredit, demand atas kredit juga akan tumbuh,” kata Royke.
Selain itu, ia menyebut kestabilan kurs, inflasi yang terkendali, dan suku bunga acuan yang tidak bertahan, akan membuat para pengusaha untuk “nyaman” dalam berekspansi di semester II-2023.
Royke mengakui memang situasi global dan gejolak ekonomi dunia seperti turunnya harga komoditas mempengaruhi pengusaha untuk berekspansi. Namun kini, ia menilai keadaan sudah mulai stabil. Bahkan, Amerika Serikat (AS) masih menaikkan suku bunga acuan mereka di kala inflasi sudah turun.
“Nah itu juga sedikit mempengaruhi para pengusaha-pengusaha. Tapi saya lihat pengusaha-pengusaha besar yang swasta, yang top tier, mereka sudah punya risk management yang cukup baik. Jadi saya rasa mereka juga nggak sebegitu langsung nge-rem bisnisnya. Tapi mereka mungkin tahan sedikit, tapi sambil melihat situasi market seperti apa,” ujarnya.
Royke melanjutkan, tahun politik 2024 mendatang seharusnya tidak akan menjadi isu bagi para pengusaha. Terlebih para calon presiden, kata dia, seharusnya bersifat pro bisnis.
“Jadi pengusaha nggak se-worry itu untuk melakukan ekspansi, untuk melakukan pembangunan ekspansi pabrik atau apa. Saya yakin potensinya jauh lebih besar dibanding isu masalah politik. (Zs/BNI)
Discussion about this post