spot_img
Selasa, April 23, 2024
spot_img

Awas! Ancaman Ekonomi dari Kibaran Bendera Putih Buruh

KNews.id- Serikat buruh berencana mengibarkan bendera putih sebagai bentuk protes sekaligus aksi mogok kerja dari pabrik pada 5 Agustus 2021. Langkah ini diambil karena buruh merasa selama ini keluhan dan usulnya tidak didengar pemerintah.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal merangkum beberapa keluhan tersebut, yaitu mulai dari tidak ada jam kerja bergilir, pabrik beroperasi 100 persen, tidak ada obat gratis untuk buruh yang sedang isolasi mandiri, persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK), dirumahkan, hingga pemotongan upah.

- Advertisement -

“Kaum buruh menyerah dengan banyaknya buruh yang sudah meninggal dan terpapar covid-19. Kami akan keluar dari pabrik, tapi tetap di lingkungan perusahaan,” ujar Said, Senin (26/7).

Ekonom Indef Nailul Huda menilai rencana pengibaran bendera putih dari para buruh ini mengancam perekonomian nasional. Pasalnya, ketika tidak ada tenaga kerja yang bekerja dalam jumlah banyak, maka produktivitas industri akan terganggu, bahkan berhenti.

- Advertisement -

Saat ini terjadi, industri tidak bisa mengejar target produksi dan pendapatan. Hal ini akan berdampak pada kemampuan pabrik dalam membayar gaji buruh, sehingga upah bisa berkurang.

“Efeknya adalah penurunan pendapatan masyarakat. Bisa jadi konsumsi rumah tangga akan turun secara drastis,” ucap Huda kepada CNNIndonesia.com.

- Advertisement -

Jika laju konsumsi turun, maka sudah pasti harapan pertumbuhan ekonomi yang masih cukup baik menurun. Hal itu lantaran indikator konsumsi menyumbang lebih dari 50 persen ke struktur perekonomian tanah air.

“Maka dari itu, pernyataan buruh ini harus disikapi serius oleh pemerintah,” imbuhnya.

Masalahnya, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menambahkan, ketika buruh sudah bergerak, ia melihat bukan tidak mungkin hal ini menggerakkan kalangan pekerja lain.

Misalnya, pekerja di sektor informal yang sama-sama tertekan cukup dalam karena  pembatasan mobilitas dan aktivitas di era PPKM Level 4.

“Yang dikhawatirkan jika aksi buruh nanti juga melibatkan (pekerja) lapangan usaha yang masih menopang perekonomian selama PPKM berlangsung. Ini sudah pasti kinerja akan terkoreksi karena perekonomian, ditambah aksi mogok yang masif dan dengan waktu yang tidak sebentar,” ungkap Yusuf.

Dampak lain, menurutnya, ketika buruh mogok dan industri tak berjalan, harapan menggenjot ekspor pun bisa sirna. Artinya, berkurang lagi penopang ekonomi Indonesia.

“Jika fungsi produksi tidak berjalan, maka fungsi perekonomian tidak berjalan secara optimal,” tuturnya.

Hal ini selanjutnya perlu dipertimbangkan dengan matang oleh pemerintah. Sebab, ketika perekonomian jatuh terlalu dalam, akan butuh usaha yang lebih keras lagi untuk mengangkatnya. Begitu juga dengan kekuatan fiskal yang dibutuhkan.

Sementara Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai ada pula dampak yang parah pada tingkat pengangguran dan kemiskinan dari aksi mogok buruh, apalagi sampai berkepanjangan.

“Kalau dibiarkan berkepanjangan tentu perusahaan akan lakukan PHK sepihak dan pekerja akan jatuh ke bawah garis kemiskinan dan yang paling rentan sebenarnya adalah pekerja outsourcing yang kontraknya bisa diputus kapan pun,” kata Bhima.

Jalan Keluar

Dengan ancaman pengibaran bendera putih ini, Bhima menilai pemerintah perlu segera mencari jalan keluar. Salah satunya, pemerintah perlu mengikuti keinginan buruh untuk melaksanakan kerja dengan jam bergilir dan pengurangan kapasitas pekerja di pabrik agar penyebaran covid-19 pun tidak meningkat.

Namun, pemerintah perlu memastikan bahwa perusahaan tidak memotong upah buruh. Untuk menjamin hal ini, pemerintah perlu ‘turun tangan’ dengan ikut menanggung gaji buruh melalui kebijakan bantuan subsidi upah (BSU).

Kendati demikian, Bhima memberi masukan agar nominal BLT Subsidi Upah dinaikkan dulu. Sebagai catatan, pemerintah berencana memberikan subsidi gaji sebesar Rp500 ribu per penerima per bulan untuk dua bulan, sehingga totalnya cuma Rp1 juta per penerima.

“Padahal, tidak sedikit pekerja yang bahkan dirumahkan tanpa gaji selama PPKM Level 4. Jadi idealnya (besaran subsidi) Rp1,5 juta per bulan dan total minimum (subsidi yang diberikan) Rp5 juta dalam tiga bulan karena efek PPKM dirasakan bisa sampai tiga bulan ke depan,” jelas Bhima.

Selanjutnya, ia menilai jumlah penerima juga harus ditingkatkan dari rencana awal hanya 8,8 juta penerima menjadi 20 juta sampai 30 juta penerima. Angka ini, katanya, muncul dari estimasi jumlah pengangguran dan orang yang berpotensi menganggur akibat kebijakan PPKM Level 4.

Ia mengingatkan jumlah pekerja yang terdampak bukan cuma dari sektor formal, tapi juga sektor informal. “Jangan hanya pekerja yang terdaftar di BPJS ketenagakerjaan saja, tapi perhatikan pekerja informal yang tidak punya BPJS,” ucapnya.

Senada, Yusuf juga menekankan perlunya bantuan subsidi upah bagi buruh di era PPKM Level 4. Namun, selain itu, perlu juga diberikan bantuan lain, misalnya diskon listrik dan bantuan kepada lapangan usaha yang terdampak pandemi covid-19.

Memang, saat ini bantuan non upah sudah ada, bahkan sudah diperpanjang sampai akhir tahun. Tapi, menurut Yusuf, bantuan belum benar-benar menjangkau semuanya di lapangan.

“Jika mengacu pada jumlah penerima bantuan maka sudah tentu BSU tidak lah cukup karena ukuran penerimanya masih kurang proporsional,” ujar Yusuf.

Sementara itu, Huda menambahkan penanganan dampak ekonomi pada buruh dan perekonomian nasional tidak akan bisa dimaksimalkan selama penanganan terhadap pandemi masih banyak kekurangan dan belum jadi prioritas.

“Jadi sembari memberikan bantuan (kepada buruh), sudah saatnya pemerintah serius menangani pandemi ini dengan memberlakukan kebijakan ketat agar laju kasus positif bisa berkurang dan berhasil mengatasi pandemi,” pungkasnya. (Ade/cnn)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini