Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
KNews.id – Jakarta, Saran hukum: TPUA idealnya bukan minta gelar perkara, namun minta dibatalkan sp2lidik yang isinya menyatakan “ijazah Jokowi otentik”, maka TPUA harus berteriak dan berupaya keras atas dasar hukum, jika memang ditolak, maka mohonkan melalui Prapid kepada Pengadilan Negeri agar memerintahkan penyidik Bareskrim terhadap SP 2 HP yang isinya sp2lidik batal demi hukum dan atas nama hukum agar Pengadilan Negeri minta proses hukum penyelidikan oleh bareskrim diulang kembali dari awal dan berkeras minta uji forensik diulang, atau jika ternyata belum, maka minta diadakan uji forensik.
Karena andai permintaan TPUA khusus diadakan gelar perkara maka hanya berkutat tentang keabsahan SP2Lidik (Surat Penghentian Penyelidikan) yang dikeluarkan Penyelidik dan tercantum didalam SP2HP model SP 3? Dengan format hukum gelar perkara, bukan menolak proses penyelidikan yang hasilnya ijazah otentik?
Nantinya bagaimana hasil gelar perkara (sekalipun) andai ada perbedaan pendapat ahli dari jumlah ahli yang dimajukan oleh pihak Pengadu atau TPUA selaku Pelapor Dumas kalah banyak, dengan pendapat ahli Penyidik atau ahli independen.
Andai “adu banyak” suara diantara kedua pihak para ahli (voting). Pertanyaan logika keadilannya, bagaimana bisa perihal palsu atau aslinya sebuah barang atau benda kertas dan atau keterangan surat, terkait faktor otentitas-nya, justru ditentukan melalui voting?
Lalu hasil riset yang menggunakan teknologi, menjadi “sungsang dan obscur” gara gara kalah voting, dan apa dasar legalitas voting dimaksud ? Dimana letak keadilannya? Maka sungguh sulit diterima oleh akal sehat, andai seseorang yang berpijak kepada hukum atau berbuat kebenaran, namun malah dihukum atau sebaliknya terbebas dari sanki akibat kalah voting?
Sedangkan tujuan proses penyelidikan dan penyidikan, semata mata prinsipnya adalah demi untuk mencari dan mendapatkan hakekat kebenaran? Ngapain susah-susah sistim hukum dibentuk dengan anggaran yang luar biasa? Kemudian setelah menjadi undang-undang dan dimimpikan oleh seluruh bangsa ini, bahwanya hukum akan menegakan keadilan, namun siapa yang mengira, andai tuk memperoleh keadilan ternyata cukup sederhana, direpresentasikan melalui voting?
Mudah mudahan analisa berdasarkan kacamata yang bercorak “biasanya” aneh dengan irama ‘suka suka’ bakal meleset?
Pastinya publik berharap kali ini Kapolri akan bersikap objektif, mandiri dan presisi serta berkeadilan dibawah komando Presiden RI ke 8, dikarenakan kasus tuduhan publik ini sudah menjadi pusat mata dunia, sehingga mesti dicegah agar kelak tidak menjadi sejarah gelap pengakan hukum dan terhadap identitas para penegaknya, maka tentunya para ‘stakeholder’ bangsa periode 2024-2029 tidak ingin mengkriminalisasi ilmu pengetahuan atau menolak riset produk hasil tekhnologi dan para akademisi (ahli IT), serta tidak ingin mencederai kepastian hukum yang memang ingin didapatkan oleh civitas aktivis kelompok TPUA, yang hanya sekedar ingin membantu serta mempermudah penegakan hukum yang memang mesti ditegakan di sebuah negara yang segala sesuatunya harus berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kesewenang-wenangan dengan menggunkan segala cara atau dengan pola politik tirani kekuasaan.
(FHD/NRS)