KNews.id – Jakarta, Tradisi halal bihalal setiap usai Idul Fitri menjadi salah satu ciri khas masyarakat Muslim di Indonesia. Di momen ini, umat Islam saling mengunjungi, meminta maaf, dan mempererat silaturahmi antaranggota keluarga maupun masyarakat.
Namun, halal bihalal sesungguhnya bukan sekadar budaya lokal yang diwariskan turun-temurun. Ada makna yang lebih dalam dari sekadar berjabat tangan dan menyajikan hidangan khas lebaran.
Pendakwah muda Ustadz Adi Hidayat (UAH) menuturkan bahwa istilah halal bihalal memiliki akar yang kuat dalam bahasa Arab dan konsep keislaman. “Kalau kita ingin memahami maknanya dengan baik, kita harus kembali ke akar katanya,” katanya.
UAH menjelaskan, kata “halal” berasal dari akar kata al-hillu. Dalam bentuk kerja, katanya adalah ahalla-yuhillu, lalu membentuk halal, ihlalan, dan halalan. “Al-hillu ini artinya sesuatu yang sudah terurai, sudah tidak punya persoalan,” tambahnya
Penjelasan mendalam ini disampaikan UAH dalam sebuah video yang dirangkum dari tayangan kanal YouTube @r-kabunantv. Dalam video tersebut, ia mengupas filosofi dan nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam istilah halal bihalal secara rinci. “Kalau ada tali yang kusut, lalu bisa diluruskan kembali, itulah yang disebut hillul ahbal,” ucap UAH. Maka, ketika sesuatu telah kembali lurus dan tak lagi kusut, maka kondisi itu disebut sebagai ‘halal’.
Dalam pengertian ini, halal tidak hanya terbatas pada status makanan atau transaksi. Halal adalah kondisi yang telah terurai, kembali bersih, dan bebas dari kerumitan. Karenanya, halal bihalal menjadi momen mengurai simpul konflik dan menyambung kembali tali silaturahmi.
Proses Pembersihan Batin
Halal bihalal, menurut UAH, adalah proses pembersihan batin dan sosial. Ia menegaskan, “Kalau kita masih menyimpan dendam atau ganjalan setelah halal bihalal, berarti kita belum benar-benar halal.”
Tidak hanya di level pribadi, konsep ini juga berlaku untuk kehidupan sosial yang lebih luas. Halal bihalal bisa menjadi jembatan untuk meredakan konflik antaranggota masyarakat. Ia menambahkan, “Halal bihalal bukan sekadar saling memaafkan, tapi menyelesaikan persoalan.”
UAH mengingatkan bahwa halal bihalal seharusnya tidak menjadi formalitas tahunan. “Jangan hanya datang, salaman, lalu pulang. Tapi pastikan hati kita ikut bersih saat kembali ke rumah,” ujarnya.
Tradisi ini juga memberi pelajaran penting dalam konteks keluarga. Dalam relasi antaranggota keluarga yang kadang renggang, halal bihalal menjadi peluang besar untuk kembali merajut hubungan yang renggang. “Kalau ada saudara yang lama tidak bicara, inilah saatnya,” kata UAH.
Semangat ini, kata UAH, seharusnya diteruskan dalam interaksi harian. Tidak cukup satu hari setelah lebaran, tapi menjadi kebiasaan untuk menjaga hati tetap jernih. “Kalau bisa halal bihalal setiap hari, kenapa harus tunggu setahun sekali?” ujarnya sambil tersenyum dalam ceramah.
Dengan demikian, halal bihalal tidak bisa dilepaskan dari makna spiritual. Ia adalah simbol bahwa setelah menjalani Ramadhan dan Idul Fitri, seseorang harus benar-benar kembali ke fitrah. Bukan hanya tubuh yang bersih, tapi juga hati dan hubungan sosial.