spot_img

APBN 2025 di Awal Tahun: Penerimaan Pajak Merosot, Belanja Turun, Utang Meningkat

KNews.id – Jakarta – Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menghadapi tantangan di awal tahun ini. Ada beberapa hal yang disoroti oleh sejumlah ekonom terkait kinerja APBN 2025 di dua bulan pertama ini. Berikut penjabarannya.

1. Penerimaan pajak merosot

Salah satu masalah utama yang mengemuka adalah merosotnya penerimaan pajak yang berpotensi mengganggu tercapainya target pendapatan negara sebesar Rp 3.005,1 triliun.

- Advertisement -

Realisasi penerimaan pajak sampai dengan akhir Februari 2025 sebesar Rp 187,8 triliun atau 8,60 persen dari target APBN 2025. Realisasi ini turun 30,19 persen dari tahun lalu yang mencapai Rp 269,02 triliun.

Perlu diketahui, kinerja dua bulan pertama tahun lalu yang lebih baik dari tahun ini saja tidak berhasil membuat penerimaan perpajakan mencapai target. Selama setahun kemarin penerimaan pajak mencapai Rp 2.232,7 triliun yang merupakan 96,7 persen dari target, atau shortfall sebesar 3,3 persen.

- Advertisement -

Itu artinya, dengan awalan kinerja tahun 2025 yang tidak menggembirakan, terdapat risiko shortfall yang lebih dalam.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) beralasan turunnya penerimaan pada awal tahun ini disebabkan oleh harga beberapa komoditas utama yang melambat, antara lain Batubara (-11,8 persen), Brent (-5,2 persen), dan Nikel (-5,9 persen).

Faktor lainnya berasal dari penerapan Tarif Efektif Rata-rata (TER) PPh 21 sejak Januari 2024 yang mengakibatkan lebih bayar sebesar Rp16,5 Triliun di 2024. Lebih bayar tersebut diklaim kembali pada Januari dan Februari 2025.

Selain itu, pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) yang mengikuti pola musiman dimana Januari menurun dibandingkan Desember tahun sebelumnya.

Untuk diketahui, tahun 2025 diberikan kebijakan relaksasi pembayaran PPN DN selama 10 hari. Dengan demikian, PPN DN Januari dapat dibayarkan hingga 10 Maret 2025.

Menurut Ekonom Bright Institute Awalil Rizky, alasan Kemenkeu tersebut tidak cukup menutupi fakta terjadinya penurunan penerimaan pajak.

- Advertisement -

Tidak pula bisa memastikan, penerimaan di bulan-bulan mendatang bakal meningkat lebih pesat dari biasanya sehingga mampu menutupi kekurangan dua bulan awal ini.

Dia menilai, Kemenkeu tidak mengakui terjadinya pelemahan dinamika perekonomian selama dua bulan ini, yang berdampak pada penurunan penerimaan pajak.

“Tidak pula ada pengakuan bahwa penerapan Coretax yang bermasalah juga turut berkontribusi,” ucapnya dalam keterangan tertulis kepada media, dikutip Senin (17/3/2025).

Sementara itu, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai dengan akhir Februari 2025 sebesar Rp 76,4 triliun atau 14,90 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 513,6 triliun. Realisasi PNBP turun 4,15 persen dari realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 79,71 triliun.

Meski tidak seburuk kinerja pajak, capaian PNBP terbilang tidak kinclong seperti tahun lalu. PNBP selama setahun lalu bahkan melampaui target hingga mencapai 105,5 persen. Pada 2025 tampak ada risiko tidak mencapai target, bahkan lebih rendah dari tahun lalu.

“Secara keseluruhan kondisi pendapatan negara selama dua bulan pertama 2025 ini mesti menjadi peringatan buat pemerintah bahwa kondisi setahunnya akan cukup berat,” ungkapnya.

Oleh karenanya, daripada sibuk memberi alasan tentang kinerja pendapatan yang kurang baik, Awalil menyarankan pemerintah untuk menyiapkan mitigasi risiko dari kemungkinan buruk ini.

2. Belanja turun

Tidak hanya penerimaan negara yang anjlok pada awal tahun ini, di sisi belanja negara juga mengalami penurunan.

Realisasi belanja hingga Februari 2025 mencapai Rp 348,1 triliun atau 9,6 persen dari pagu anggaran. Angka ini lebih rendah 10,76 persen dibandingkan realisasi belanja negara pada Februari 2024 yang mencapai Rp 470,3 triliun.

Sementara secara spesifik belanja kementerian dan lembaga (K/L) turun tajam hingga 45,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi Rp 83,6 triliun.

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Askar mengatakan, belanja pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi.

“Melambatnya belanja pemerintah hampir separuh dari tahun sebelumnya, bisa mengurangi perputaran uang di masyarakat, memperlambat konsumsi, dan memangkas pertumbuhan ekonomi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Senin.

Tak hanya itu, anjloknya belanja pemerintah juga berpotensi menyebabkan terhentinya proyek infrastruktur di daerah yang juga menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran di sektor konstruksi dan industri pendukung.

Dia mengungkapkan, kondisi yang terjadi di Indonesia bertolak belakang dengan yang terjadi di Argentina dimana Presiden Argentina Javier Milei juga melakukan pemangkasan anggaran secara signifikan.

Meski demikian, penerimaan pajaknya berhasil dinaikkan hingga 11 persen pada Februari 2025 dan mengalami surplus fiskal.

Vietnam juga melakukan hal yang sama, efisiensi bertujuan memangkas birokrasi sehingga menarik bagi investasi.

“Sementara di Indonesia, justru berujung pada dua masalah sekaligus, anggaran dipangkas dan membebani masyarakat bawah dan penerimaan negara anjlok drastis,” tukasnya.

3. Utang tak terkendali

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menambahkan krisis pada penerimaan pajak menimbulkan risiko penambahan utang yang tak terkendali.

Pada periode yang sama, Kemenkeu mencatat realisasi pembiayaan utang pada Februari 2025 mencapai Rp 224,3 triliun atau setara 28,9 persen dari target penarikan utang tahun ini Rp 775,9 triliun.

Realisasi ini lebih besar sekitar 43,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 184,9 triliun.

“Bayangkan kalau Januari saja utangnya naik 43,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, maka akhir 2025 diperkirakan utang pemerintah tembus Rp 10.000 triliun,” ucapnya dalam keterangannya, dikutip Senin.

Penarikan utang yang lebih besar ini tentu akan berdampak ke beban bunga utang yang naik tajam pada tahun depan.

Kondisi ini dapat membuat overhang utang dan memicu crowding out effect di sektor keuangan dan efisiensi belanja ekstrem lebih brutal lagi tahun depan. “Rating surat utang pemerintah juga diperkirakan mengalami evaluasi,” imbuhnya.

(NS/Kmps)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini