Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
KNews.id – Jakarta, Komentar Heru Subagia “mirip” wajah dua, selain track record Heru adalah Ketua Umum Relawan Ganjar Pranowo (RGP) di Pilpres 2024, meski partainya PAN memberi dukungan kepada Prabowo Subianto (rivalitas Ganjar).
Padahal program Caleg PAN Bobotoh Jokowi, saat menjadi Caleg DPR RI 2024 cukup ideal: “Memperjuangkan kebijakan pendidikan yang inklusif dan berfokus pada pengembangan keterampilan dan keahlian yang relevan dengan pasar kerja masa depan”?
Maka tidak aneh, andai Heru ‘Ketua Kagama Cirebon Raya ini’ (Rabu, 25/6/2025) melontarkan pernyataan yang dualisme (wajah dua) dengan kualitas “sok” ewuh pakewuh, karena kontradiktif dengan prinsip hukum dan moral serta tidak realistis bahkan bahayakan RI sebagai negara yang prinsipnya yang wajib mengedepankan hukum (law development) bahkan substasial sepelekan peran Prabowo selaku Presiden RI.
Komentar Heru adalah:
1. Seolah mendapat info dari “malaikat”, Heru mengatakan, ‘bahwa saat ini Indonesia tengah memasuki fase kiamat besar peradaban lama dan Jokowi sudah menyadari dirinya akan segera mundur dari alam dunia’;
2. Heru bak filuf, “Mengapa kebencian harus dibalas dengan kebencian. Dan bukannya masih ada ruangan yang murni dan tulis yakni cinta. Dalam level spiritual tempat tercerah itu bernama nilai kemanusiaan,”
3. “Indonesia sudah waktunya akhiri dan kiamat besar peradaban lama sedang terjadi. Dan saat ini petunjuk ilahi itu sudah nampak. Pilihan mau diambil atau Indonesia bubar,” oleh karena solusi terbaik bagi Indonesia saat ini adalah kembali ke titik nol dan kemurnian awal, substansi dan eksistensi baru.
Oleh karenanya alasan pola berfikir dari Heru, tentu tidak realistis selain ambigu, atau sedang mencoba kembali “dua wajah atau cari muka? Atau ingin nihil kan integritas Prabowo?”.
Dalil ‘judge’ kepada Heru berdasarkan asas teori hukum mala in se, yang mengatakan bahwa “perbuatan seseorang yang melakukan kejahatan menurut hukum positif, atau sekalipun melanggar adab dan budaya atau sekedar kebiasaan di sebuah bangsa atau di sebuah negara, karena melanggar moralitas harus dipastikan melalui proses hukum. Oleh karenanya pelanggar moral bisa dituntut dengan pasal kebohongan (amoral).
Tentu analogi teori mala in se harus diberlakukan terhadap perilaku Jokowi yang oleh publik dituduh melakukan perbuatan melanggar hukum dan penyimpangan moral menipu bangsa ini selama lebih dari satu dekade (plus menjabat Gubernur DKI), sehingga rakyat bangsa ini dan Jokowi sendiri harus mendapatkan kepastian hukum melalui proses hukum.
Selebihnya jika diteliti, kata kata komentar Heru yang bukan ahli medis, sungguh “membagongkan” (membingungkan), seolah tahu Jokowi yang sakit sudah ikhlas menunggu kematian? Padahal realitanya;
Pertama, Jokowi melaporkan beberapa aktivis yang menuduh Jokowi Ijazah palsu ke pihak penyidik, menolak tuduhan dan Jokowi sepengetahuan umum (notoire feiten) masih acap berbohong;
Kedua, selain bertentangan dengan teori hukum mala in se juga melanggar teori mala probihita (asas legalitas), dan konsep prinsip bahwa Negara RI adalah negara hukum;
Ketiga, Indonesia bubar jika penegakan hukum dilakukan terhadap Jokowi yang notoire feiten notorius (hobi anomali) dari sistematika hukum, sekaligus mengecilkan nilai nilai leadership dan reputasi, kredibilitas, kapabilitas serta nilai integritas Presiden Prabowo;
Keempat, metode ewuh pakewuh nya, antitesis dengan tujuan fungsi hukum, yakni demi kepastian (legalitas), faktor manfaat (utilitas) serta keadilan (justice).
Mungkin kah Publik punya tengara, Heru Subagia ikutan peran hal informasi publik pernah coba akses ‘pendekatan’ Kagama pada 14 Mai 2025 ke Rumah Jokowi, dalam rangka membujuk Jokowi agar “memaafkan” Roy Suryo, karena sesama alumni”? Ambyaarr.
Ref.
https://fajar.co.id/2025/06/26/heru-subagia-jokowi-sudah-siap-hadapi-takdir-akhir/
(FHD/NRS)