KNews.id – Jakarta, Anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu mendorong pembatasan potongan tarif oleh aplikator transportasi online menjadi maksimal 10 persen sebagai bagian dari tanggung jawab jangka panjang demi memastikan masa depan keluarga para pengemudi.
“Perjuangan kita untuk mendorong komisi aplikator menjadi 10 persen itu sesungguhnya bukan perjuangan untuk hadiah atau untuk kita hari ini saja. Ini perjuangan untuk masa depan anak-anak para driver (pengemudi),” kata Adian dalam keterangan diterima di Jakarta, Sabtu (3/5/2025).
Adian menyampaikan hal itu merespons keluhan pengemudi ojek online (ojol) yang meminta potongan aplikator diturunkan menjadi 10 persen. Para pengemudi, kata dia, mengaku terbebani akibat potongan-potongan dari aplikator yang bahkan mencapai 30 persen.
Para pengemudi atau driver transportasi berbasis online berharap Pemerintah dan DPR mengupayakan tuntutan mereka agar dijadikan sebagai sebuah regulasi sehingga pihak aplikator wajib mematuhinya.
Sebagai anggota komisi yang membidangi urusan infrastruktur dan pembangunan, Adian mengaku prihatin adanya pihak-pihak yang mulai meninggalkan semangat perjuangan terkait aspirasi para driver ojol. “Kalau ada yang mengkhianati perjuangan ini, yang dikhianati bukan saya, bukan kalian. Yang dikhianati adalah anak-anaknya sendiri,” dia menegaskan.
Ia juga menekankan bahwa perjuangan membela kesejahteraan driver ojol berkaitan langsung dengan kesejahteraan jutaan keluarga Indonesia. “Kalau palu di Komisi V ini diketok untuk 10 persen, paling tidak ada 20 juta jiwa yang bisa hidup lebih sejahtera. Jadi, masalahnya dimana?,” kata Adian.
Dia menyoroti tantangan politik yang harus dihadapi di parlemen. Tahap awal, kata dia, meyakinkan 48 anggota Komisi V agar mengetok keputusan ini. Adian memastikan bahwa dirinya akan terus memperjuangkan kebijakan ini menjadi regulasi formal. “Perjuangan saya adalah perjuangan politik. Perjuangan politik itu artinya memperjuangkan ini menjadi regulasi kebijakan. Begitu saja,” ucapnya.
Hati-hati
Pakar ekonomi digital CELIOS Nailul Huda meminta pemerintah harus berhati-hati saat mengambil kebijakan terkait potongan komisi 15 persen bagi pengemudi angkutan daring atau ojek online (ojol). Menurut dia, perusahaan aplikator harus mampu bersaing dengan memberikan komisi paling rendah agar semakin banyak pengemudi ojol yang dapat bergabung.
“Perusahaan aplikator paling tidak harus bersaing dengan memberikan komisi paling rendah, sehingga semakin banyak mitra driver yang bergabung. Jadi mitra mempunyai pilihan mana yang lebih menguntungkan,” ujar Nailul dalam keterangannya di Jakarta.
Dia mengatakan perusahaan aplikator bukan merupakan perusahaan nonprofit, sehingga sudah sewajarnya mengejar keuntungan seperti perusahaan pada umumnya. Keuntungan pihak aplikator, kata dia, bukan sesuatu yang sebenarnya harus diatur oleh pemerintah, selain itu, aturan terkait komisi jasa angkutan daring harus disesuaikan dengan kondisi tiga pihak.
Pihak pertama, adalah pihak aplikator yang selama ini masih mengalami kerugian, pihak kedua adalah pihak driver yang selama ini mengungkit keberatan dengan tarif potongan. Dan pihak terakhir, kata dia, adalah konsumen yang selama ini memang dibebankan biaya lain selain biaya transportasi.
Sebelumnya sejumlah perwakilan pengemudi ojol melakukan audiensi dengan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI pada Rabu (23/4). Salah satu yang disampaikan para pengemudi ojol adalah potongan komisi bagi pengemudi ojol dari 20 persen menjadi 15 persen.
Karyawan tetap
Perusahaan layanan transportasi berbasis aplikasi atau aplikator yaitu Maxim Indonesia dan Grab Indonesia menanggapi wacana yang mencuat terkait pengemudi ojek daring/online (ojol) yang akan dijadikan pegawai tetap.
Baik Maxim maupun Grab sepakat bahwa status mitra merupakan pendekatan yang paling tepat untuk pengemudi ojol. Hal ini mengingat fleksibilitas dari pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hari.
“Secara khusus, status karyawan menyiratkan jam kerja minimal 40 jam seminggu, jadwal kerja yang jelas, dan pemenuhan pesanan dari satu aplikator pemberi kerja saja,” kata PR Specialist Maxim Indonesia Yuan Ifdal Khoir dalam keterangan tertulis.
“Dengan status kemitraan, pengemudi diberi pilihan untuk bekerja dengan jadwal yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, di mana 80 persen pengemudi bahkan tidak bekerja lebih dari 4 jam seminggu,” imbuhnya. Ia menilai, status karyawan akan menimbulkan ketidakpuasan di antara pengemudi yang tidak akan dapat mematuhi aturan-aturan resmi.
“Selain itu, status karyawan akan menghilangkan fleksibilitas dan kenyamanan sistem kerja bagi pengemudi. Pengemudi tidak dapat memperoleh status karyawan tanpa memenuhi persyaratan dan bahkan mungkin kehilangan sebagian dari pendapatan mereka,” ujar Yuan.
Di sisi lain, Chief of Public Affairs Grab Indonesia Tirza Munusamy mengatakan model kemitraan tetap menjadi pendekatan utama aplikator mengingat ekosistem bisnis ride hailing yang unik dan model usaha yang berbeda dari industri konvensional.
“Selain memberikan fleksibilitas bagi Mitra untuk mengatur waktu kerja sesuai kebutuhan, model kemitraan juga membuka peluang luas bagi masyarakat untuk memperoleh penghasilan tambahan secara mandiri dan berkelanjutan, bahkan menjadi sumber pendapatan yang dapat diandalkan di masa transisi atau saat menghadapi tantangan ekonomi,” kata Tirza.
Namun, jika mitra diklasifikasikan sebagai pekerja tetap, maka fleksibilitas akan hilang.
“Mereka akan terikat aturan seperti jam kerja, batas usia, target performa, serta adanya keterbatasan kuota mitra yang dapat bergabung dengan platform,” ujar dia.
“Jumlah mitra yang dapat bergabung menjadi sangat sedikit, hanya sekitar 10-20 persen dari jumlah Mitra yang terdaftar saat ini. Hal ini tentu akan mengurangi kesempatan bagi banyak pihak untuk meningkatkan taraf hidup melalui platform digital,” imbuhnya.