Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Pengamat Umum hukum dan Politik)
KNews.id – Jakarta, Menurut Jeremy Bentham, filsuf penemu teori utilitas suatu tindakan yang tergolong mala in se, tidak dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu tertentu kapanpun, tindakan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang oleh Undang-Undang.
Namun dalam teori Mala in atau malum in se (mala per se) yang dalam bahasa Latin mengacu kepada suatu perbuatan yang dianggap oleh adab budaya (adat istiadat) atau common law, yang berlaku dalam sebuah wilayah tertentu, merupakan sesuatu yang jahat, walau sejatinya tidak ada ketentuan yang melarangnya (undang-undang) cukup, karena perilaku pada dasarnya bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat beradab, dalam terminologi hukum disebut sebagai natural crime.
Maka jika diketahui umum bahkan mengulang-ulang terus kebohongan yang dilakukan model tingkah polah Jokowi, yang estimasi publik, mencapai 100 lebih plus Tuduhan Ijazah Publik S-1 bodong, tentu semua ini kategori mala in se terlebih kebohongan tersebut sebagai bagian daripada sistematika perundang-undangan NRI.
Lalu termasuk Gibran bin Jokowi, dalam kasus tuduhan publik akun Fufu Fafa, atau terkait ijazah D-1 nya dan pastinya kasus ‘discon usia’ walau aslinya melalui putusan final and binding.
Akan tetapi dari sisi Teori Mala In se 100 kebohongan Jokowi membuat janji-janji yang seharusnya terikat, karena yang dijanjikan Jokowi merupakan kontrak imbal balik politik dukungan masyarakat kepada penguasa atau kontrak sosial politik, (vide, du social contrat social oleh JJ. Rousseau), lalu masyarakat penuh harap, juga kasus S-1 Jokowi walau diakui oleh dekanat dan rektor UGM (Universitas Gajah Mada) dan Gibran terkait diskon umur Jo. UU. Pemilu, dan diploma D-1 khusus Gibran, secara moralitas ini sebuah kejahatan moral menyinggung nurani anak bangsa umumnya. Maka kejahatan Jokowi dan Gibran bisa digolongkan sebagai kejahatan hati nurani (crimes against conscience).
Beberapa contoh perbuatan yang termasuk mala in se atau malum in se dalam wujud hukum positif antara lain adalah pembunuhan, perkosaan, pencurian, perampokan termasuk pembiaran meniadakan proses terhadap perilaku pembunuhan dan perkosaan, kesemuanya merupakan mala in se.
Maka Jokowi dan Gibran dan Para Penyertanya (delneeming) harus equal, walau Jokowi diserang penyakit, dan Gibran dari kursi RI 2 dilengserkan oleh atas dasar konstitusi termasuk para oknum “Gerombolannya” dalam sistim hukum positif di tanah air TIADA BARTER DALAM TEORI HUKUM DI NRI. Harus tetap kedua anak beranak dan deelneming harus diproses hukum, karena rumus dar teori “kejahatan sampai kapan pun tercatat sebagai kejahatan” dan kepastiannya adalah melalui proses yang sempurna, mau vonisnya bebas karena vrijspraak atau onslag atau dihentikan karena Terdakwa butuh proses penyembuhan dari sakitnya, baik sakit fisik ataupun karena faktor kejiwaan atau karena faktor pikun (Pasal 44 Jo. 45 maupun dikarenakan faktor kadaluarsa tuntutan (Jo. 78-79 KUHP), kesemuanya penentunya harus dapat membatalkan asas teori hukum mala in se melalui proses hukum.
Penulis adalah:
•Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat
••Anggota Dewan Penasihat DPP. KAI.
•••Kabidhum & HAM DPP. KWRI
(FHD/NRS)