spot_img
Selasa, November 18, 2025
spot_img
spot_img

Banci Tampil Rajin Melayani Apa Yang Tidak Perlu Menurut Hukum

Oleh : Damai Hari Lubis – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

(Pengamatan Jilid 3)

- Advertisement -

KNews.id – Jakarta, Berkebetulan perihal yang menyangkut laporan “terduga Jokowi Ijazah Palsu”, Pengamat (Penulis DHL) selaku tersangka/ TSK diantara Prof. Dr. Eggi Sudjana Cs. Atau dari ke 8 orang TSK. Mungkin saja saya sebagai “Paket Orderan TSK namun telat dipesan?”

Dalam rangkuman catatan hukum saya, pola laporan yang dilayangkan oleh Jokowi dan Jokowi lover, terasa ‘membangkitkan’ rasa malu kami selaku rekan sejawat dan sebagai senior khususnya kepada publik yang bukan disiplin ilmu hukum, oleh perilaku oknum-oknum pihak pelapor yang info (isunya), adalah anggota organisasi advokat Peradi dan yang menamakan dirinya “peradi bersatu/PB” dan atau siapa pun diantara pelapor yang berprofesi sama.

- Advertisement -

Pertanyaannya, peristiwa apa yang telah ‘membangkitkan rasa malu’ dan siapa yang membuat malu ?’

Bahwa hal peristiwa hukum yang terjadi kepada kami, oleh sebab laporan pada awalnya saya pribadi tidak menjadi sosok terlapor, hal ini terbukti:

1. Jokowi melalui Kuasa Hukumnya, yakni Yakub Hasibuan anak dari Wamenkohumham, Imigrasi dan Pemasyarakatan, pasca Jokowi melaporkan (30 April 2025) di Reskrimum Polda Metro Jaya mengatakan viral, terlapornya berjumlah 5 orang, dengan inisial ES, RS, RS, TT dan KTR;

2. Begitu pula Jokowi terkait jumlah terlapor ada 5 orang, dengan kalimat lainnya, “dikarenakan ini delik aduan maka saya yang harus melaporkannya”;

3. Juga Humas Polda saat konpres dihadapan insan pers berbagai media jelas menyebut nama 5 orang dengan inisial ES, RS, RS, TT dan KTR;

Pendapat hukum Jokowi benar, terkait alasan status dirinya melaporkan, karena delik aduan terkait objek laporannya adalah benda dalam wujud sebuah ijazah S-1 ‘miliknya’ pribadi yang dituduh produk palsu.

- Advertisement -

Namun setelah diadakan pemeriksaan terhadap ke 5 orang terlapor, termasuk diri saya, pasca menghadap ke penyidik Polda Metro Jaya sebanyak 2 kali atas dasar panggilan sebagai saksi terlapor, lalu terjadi perubahan daripada jumlah terlapor dari 5 orang menjadi 12 orang. Diantara ke 12 orang tersebut adalah saya/DHL (Pengamat KUHP).

Dan terhadap perubahan jumlah terlapor tersebut, oleh Jokowi yang dikenal publik selaku sosok pembohong, menyatakan, “dirinya memang tidak melaporkan nama-nama hanya memberikan bukti bukti beberapa banyak video”.

Sehingga perspektif substansial yang jokowi ingin katakan, bahwasanya perubahan terhadap jumlah terlapor adalah akibat faktor pengembangan oleh pihak penyidik? Atau kah dari pesanan Yakub selaku advokat kuasa hukumnya ?

Statemen Jokowi ini sebuah kekeliruan besar karena faktor jenis delik aduan harus menyebut dan menunjuk nama dan alasan perbuatan yang dilaporkan, terlebih para penduga ijazah Jokowi Palsu pasti punya nama, selain dikenal publik dan bisa mencari info tentang nama-nama, pasti dapat, baik melalui organisasi advokat (OA) atau dari polisi apalagi seorang sosok Jokowi amat mudah untuk mencari info nama dan alamat seseorang aktivis dan juga seorang advokat dan jurnalis, terlebih saya selain banyak membuat artikel hukum dan politik, selain juga selaku penggugat ijazah palsu dan jo salah seorang pelapor Dumas di Mabes Polri, serta terbukti saya pernah bertemu, bersalaman dan duduk bersama berhadap-hadapan, bersalaman dan tatap muka dirumahnya di Solo (16/4/2025).

Dan pastinya pelaporan delik aduan tidak bisa dikembangkan dengan begitu saja oleh penyidik, bukan seperti delik umum/biasa. Namun kekeliruan argumentasi hukum tersebut kami catat “bahwa Yakub membiarkan Jokowi mengatakan hal antitesis hukum tersebut (blunder) tersebut, setidak-setidaknya tidak menyanggah.

Terlebih Yakub sudah jelas jelas viral menyebut nama terlapor ada 5 orang dengan inisial RS, ES RS, TT dan KTR.

Namun entah bisikan siapa atau akibat faktor keinginan Jokowi sendiri, dirinya memasukan nama saya untuk dikembangkan agar ikut serta menjadi pihak terlapor juga, walau “telat order” namun dipaksakan. Serta yang mengherankan kenapa Penyidik mau mengikuti pesanan “basi” dimaksud ?

Untuk memperkuat dalil saya bahwa saya bukan lah sosok terlapor pada awalnya, selain memiliki bukti surat panggilan sebagai sosok saksi terlapor dan BAP di Reskrimum, juga saya mendapat surat kuasa dari Prof Eggi, Roy Suryo, dan Rismon Sianipar juga dari Kurnia (KTR). Dan saya mendampingi KTR diruang penyidik. Ini logika teori hukum, jika saya sebagai terlapor sejak awal maka , tentunya saya tidak diberikan hak mendampingi KTR selaku terlapor saat diperiksa oleh penyidik saat pembuatan BAP KTR dihadapan dan berada diruang penyidik.

Atau kah seperti yang pernah disampaikan oleh Penyidik disela sela percakapan saat klarifikasi (BAP), “bahwa DHL memang tidak dilaporkan” namun ada frase pada surat laporan “TPUA dan kawan kawan”, saya tersenyum dan enggan beri komentar, hanya saya katakan”saya tidak mau jawab”, dalam hati ini yang bakal membuat “dakwaan obscur”, tuduhan kepada kami (kawan kawan terlapor).

Tentu ini bagian dari strategi hukum, rugi jika saya sampaikan kepada hal terkait sosok Jokowi, tokoh “lip service ” gelar dari sekelompok mahasiswa, yang sepengetahuan saya sesuai asas teori hukum, karakteristik Jokowi merupakan “Notoire feiten notorius”.

(FHD/NRS)

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini