KNews.id – Medan, 13 November 2025 – Massa aksi pro tutup TPL memahami bahwa kewenangan menutup TPL ada pada pemerintah pusat. Maka aksi massa yang digelar masyarakat di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Senin (10/11/2025) bukan untuk memaksa Gubernur Sumut (Gubsu) menyatakan sikap tutup TPL. Masyarakat Kawasan Danau Toba, yang terdiri dari rohaniawan lintas agama, masyarakat adat, mahasiswa, ingin didengar, diberi empati oleh Gubsu. Masyarakat ingin dipeluk pemimpinnya karena berbagai derita yang dialami sejak PT IIU/ PT TPL berdiri dan beroperasi di tanah Batak.
Maka masyarakat pro Tutup TPL tidak butuh penjelasan Gubsu tentang tiga opsi rekomendasi Pemerintah Provinsi Sumut (Pemprovsu) kepada Pemerintah Pusat. Masyarakat pun tidak butuh didatangi ke Sihaporas atau tempat korban TPL lainnya. Harapan warga Kawasan Danau Toba korban TPL untuk didengar antiklimaks dengan sikap Gubsu yang memilih kabur ke Jakarta untuk alasan diundang ke Istana Negara. Ternyata cinta masyarakat korban TPL bertepuk sebelah tangan dengan menantu Jokowi yang dalam Pilgub Sumut (2024) menang mutlak di kawasan danau toba. Ribuan masyarakat korban TPL ternyata tidak lebih penting daripada lensa kamera di Istana Negara.
Kemenangan mutlak Jokowi dalam dua kali Pilpres (2014 dan 2019) di Kawasan Danau Toba sama sekali tidak penting bagi menantunya. Maka masyarakat di Kawasan Danau Toba kiranya makin sadar bahwa cinta kepada pemimpin politik tidak perlu berlebihan, apalagi terkesan adanya kultus individu. Upaya menghindari pertemuan dengan massa aksi pro Tutup TPL yang dilakukan menantu Jokowi sebagai bukti bahwa rakyat tidak lebih dari sekedar angka- angka yang hanya dibutuhkan pada saat Pilkada. Gubsu lebih menjaga perasaan TPL dan 11 ribu tenaga kerjanya, dibanding kerusakan ekologi dan penderitaan ratusan ribu warga di Kawasan Danau Toba.
Perjuangan pro Tutup TPL antiklimaks di Sumut karena Gubsu lebih memihak TPL dan karyawannya. Maka seluruh aksi perlawanan massa tidak perlu lagi berharap kepada Gubsu. Gubsu bukan rekan juang bagi perjuangan Tutup TPL persis sama dengan sikap seluruh kepala daerah di Kawasan Danau Toba. Realitas tersebut menjadi bukti bahwa Pilkada ternyata tidak menghasilkan pemimpin yang mampu memberi harapan bagi rakyat. Pilkada hanya menghasilkan administratur pemerintahan untuk memimpin jalannya roda pemerintahan secara mekanistik. Aksi massa harus digeser ke Istana Negara, tempat Kepala Daerah kabur saat aksi massa di kantornya.
Perjuangan menutup TPL harus digeser ke ibukota tempat izin operasionalnya dikeluarkan di masa orde baru berdasarkan akte pendirian nomor 329 tanggal (26/4/1983) oleh notaris Misahardi Wilamarta dan disahkan Menteri Kehakiman RI dalam SK No.C2-5130.HT01-01 TH.83 tanggal (26/7/1983) dengan nama PT. Inti Indorayon Utama. Pendirian dan operasional PT. IIU/ PT.TPL dimulai di masa orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang baru saja dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh mantan menantunya, Presiden Prabowo Subianto. Maka aksi massa pro Tutup TPL tidak perlu lagi digelar di kantor Gubsu, agar Gubsu tidak selalu ada alasan meninggalkan kantornya.
Sikap dan tindakan Gubsu tidak dibutuhkan (lagi) dalam perjuangan menutup TPL. Maka Gubsu dan Pemprovsu tidak perlu lagi menjelaskan sikap, rekomendasi dan rencana Gubsu ke Pemerintah Pusat maupun ke Sihaporas. Sikap dan tindakan Gubsu justru akan kontra produktif terhadap perjuangan Tutup TPL. Penutupan TPL akan lebih sulit dilakukan jika Gubsu dilibatkan (terlibat) dalam perjuangan. Maka para rohaniawan lintas agama di Sumut dan di pusat lebih tepat merencanakan langsung bertemu dengan Presiden Prabowo untuk menutup TPL. Sebab jika Presiden Prabowo Subianto bersedia mendengar para robaniawan dan masyarakat Kawasan Danau Toba, maka TPL pasti akan tutup tahun 2025 ini.
Sutrisno Pangaribuan
• Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)
• Presidium Pergerakan Rakyat Indonesia Makmur Adil (Prima)
• Presidium Perkumpulan Semangat Rakyat Anti Korupsi (Semarak)
• Direktur Eksekutif Indonesia Government Watch (IGoWa).
(FHD/NRS)



