KNews.id – Jakarta, Orang kaya Indonesia disebut semakin banyak menyimpan kekayaan dalam dolar AS dan mata uang asing lain di tengah pelemahan rupiah. Kondisi ini dinilai bisa membuat rupiah perlahan kehilangan fungsinya sebagai uang di negeri sendiri.
Nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan terakhir terus bergerak di kisaran Rp16.600 per dolar AS dan belum menunjukkan penguatan berarti. Di saat yang sama, pertumbuhan ekonomi 2025 diperkirakan tidak akan mencapai target 5,2 persen yang dipatok pemerintah.
Ekonom dari FEB Universitas Hasanuddin, Muhammad Syarkawi Rauf, menilai persoalan rupiah jauh lebih serius daripada sekadar gejolak harian di pasar valuta asing. “Status sebagai weakest currency in the world bisa berdampak tidak langsung pada currency risk premium rupiah per dolar AS,” ujarnya dalam pesan singkat, Sabtu (8/11/2025).
Ia menjelaskan, tingginya premi risiko membuat aset dalam rupiah harus menawarkan imbal hasil lebih besar agar menarik bagi pasar. Dalam jangka panjang, situasi ini membuat pembiayaan dalam negeri menjadi lebih mahal dibanding negara lain dengan risiko yang dinilai lebih rendah.
Menurutnya, reputasi rupiah sebagai mata uang lemah berpotensi menggerus tiga fungsi utama uang dalam perekonomian. “Status sebagai weakest currency membuat fungsi rupiah sebagai medium of exchange, store of value, dan unit of account jadi hilang,” ujarnya.
Syarkawi menyoroti pergeseran perilaku kalangan berpendapatan tinggi yang makin menjauh dari rupiah saat menyimpan kekayaan. “Bahayanya sekarang, orang kaya kita lebih banyak menyimpan kekayaan dalam euro, dolar Singapura, dan dolar AS,” tuturnya.
Fenomena itu bahkan sudah merembet ke ruang sosial dan gaya hidup, bukan hanya portofolio investasi. “Arisan sosialita sudah dalam dolar AS, ini fenomena currency substitution,” katanya.
Ia mengingatkan, gejala currency substitution yang dibiarkan bisa berkembang menjadi dollarisasi seperti yang terjadi di sejumlah negara. “Currency substitution dalam bentuk dollarisasi pernah dialami Zimbabwe, Argentina, dan beberapa negara Afrika lain,” ujarnya.
Jika penggunaan dolar AS makin dominan untuk transaksi dan simpanan, ruang gerak kebijakan moneter Bank Indonesia akan semakin sempit. “Dollarisasi akan membuat monetary policy tidak efektif karena penggunaan dolar AS yang besar,” katanya.
Syarkawi menegaskan, akar persoalan bukan sekadar nilai tukar rupiah yang lemah atau nominal rupiah yang tinggi di atas kertas. “Isu utama dengan nilai rupiah yang sangat lemah atau nominal yang tinggi adalah money illusion, merasa kaya padahal daya beli rendah,” ujarnya.
Konsekuensinya, investor meminta imbal hasil lebih tinggi untuk memegang aset rupiah dibanding aset dalam mata uang kuat. “Currency risk premium tinggi, makanya aset dalam rupiah yield-nya tinggi dan harganya rendah,” ungkapnya.
Senada, Ekonom Yanuar Rizky menilai tekanan terhadap rupiah makin terasa karena muncul saat indeks dolar AS justru sempat melemah. “Dua titik krusial, saat USD Index melemah ke 96–97 pada Maret 2025 dan September 2025, rupiah tetap melemah saat mata uang lain menguat,” ujarnya.
Menurut dia, kondisi itu membuat rupiah tampak lebih rentan dibanding mata uang kawasan lain yang justru menguat. Di tengah situasi tersebut, wacana redenominasi kerap dimunculkan sebagai isu yang menyasar psikologis pelaku pasar uang.
Yanuar menjelaskan, secara teknikal perbedaan denominasi membuat rupiah lebih menarik dimainkan ketimbang ringgit atau mata uang lain di kawasan. “Malaysia ringgit misalnya dengan denominasi 4,1, ketika tick price 1 persen maka gain 0,0041 poin,” katanya.
Dengan nominal kurs rupiah yang jauh lebih besar, ruang pergerakan harga untuk perubahan kecil secara persentase menjadi lebih lebar. “Rupiah 16.600, tick 1 persen itu 166 poin, jadi secara psikologis gurih mainin rupiah,” ujar Yanuar.
Ia menilai, dalam situasi seperti ini ide pemangkasan nol rupiah cenderung kembali dilempar ke ruang publik. “Itu kenapa ide redenominasi selalu muncul saat rupiah tertekan,” katanya.
Di sisi lain, pelemahan rupiah juga tidak lepas dari melambatnya laju ekonomi yang kian jauh dari target pemerintah. Pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, mengingatkan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2025 yang hanya mencapai 5,04 persen semakin memperberat posisi pemerintah untuk mengejar target tahunan 5,2 persen.
Menurut perhitungannya, pertumbuhan ekonomi 2025 kemungkinan hanya berkisar 5,13 persen, sedikit di atas realisasi 2024 yang sebesar 5,03 persen. Dengan tren tersebut, ruang pemerintah dan otoritas moneter untuk memulihkan kepercayaan pasar terhadap rupiah menjadi semakin menantang.



