KNews.id – Jakarta – Sejak awal bulan lalu, jagat perpajakan Indonesia kembali diramaikan dengan hadirnya dua aturan baru: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 51 dan 52 Tahun 2025. Aturan ini secara khusus mengatur tentang transaksi emas digital, terutama yang berlangsung di bank bullion, lembaga yang belakangan jadi sorotan setelah diresmikan oleh Menteri BUMN kala itu, Erick Thohir.
Erick optimistis, emas yang beredar di masyarakat Indonesia mencapai sekitar 1.800 ton, dengan nilai fantastis Rp3.700 triliun. Angka ini setara hampir 15% dari produk domestik bruto (PDB) kita. Namun, ironisnya, emas sebanyak itu belum benar-benar tercatat dalam sistem keuangan formal, berbeda dengan saham ataupun kripto.
Kehadiran PMK baru ini memberikan satu kabar baik yakni transaksi jual beli emas di tingkat konsumen akhir tidak dipungut pajak penghasilan (PPh). Dengan kata lain, masyarakat yang membeli emas batangan atau emas digital untuk tabungan maupun investasi tidak akan dibebani pungutan pajak langsung saat transaksi.
Langkah ini diharapkan bisa mendorong minat masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih melek berinvestasi emas. Apalagi, jika kita menengok data harga emas internasional dari goldprice.org, grafiknya dari 2015 hingga 2025 nyaris terus menanjak. Mereka yang sabar menabung emas selama satu dekade terakhir jelas tersenyum puas melihat keuntungan yang diperoleh.
Namun, euforia ini seperti-nya belum lengkap. Di balik peluncuran PMK, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ternya-ta tengah mengkaji rencana pengenaan PPh final atas keuntungan penjualan emas. Informasi ini disampaikan oleh Joko Galungan, Kasubdit PPh Badan Direktorat PP2 DJP, dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia pada pertengahan September lalu. Data yang ia ungkap cukup mengejutkan. Dari 1.800 ton emas yang beredar di masyarakat, hanya kurang dari 10% yang tercatat dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak.
Artinya, hanya sekitar 126 ton emas atau setara Rp260 triliun yang “resmi” masuk laporan pajak.
Pertanyaannya, apakah PPh final atas keuntungan emas ini akan menjadi pajak baru? Jawabannya, tidak. Sesungguhnya, regulasi pajak atas keuntungan penjualan emas sudah ada sejak lama. Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang PPh dengan jelas menyebutkan bahwa setiap keuntungan dari penjualan harta, termasuk emas, merupakan objek pajak.
Hanya saja, penerapan di lapangan memang masih jauh dari optimal. Banyak wajib pajak (WP) yang belum melaporkannya dalam SPT tahunan. Alasannya beragam, mulai dari abai, merasa transaksi emas adalah urusan pribadi, hingga kendala teknis seperti lupa berapa harga beli emas yang dulu disimpan.
Di titik ini, usulan DJP untuk memberlakukan PPh final bisa dipahami. Dengan sistem final, perhitungan pajak akan menjadi lebih sederhana. Misalnya, saat menjual emas di platform digital, pajak langsung dipotong berdasarkan persentase tertentu dari harga jual emas. WP tidak perlu repot mencatat detail harga beli dan jual, lalu mengkalkulasi sendiri dalam SPT. Dari sisi pemerintah, potensi penerimaan negara pun lebih terjamin.
Untuk gambaran, mari kita lakukan simulasi sederha-na. Nilai emas yang beredar diperkirakan Rp3.700 triliun. Katakanlah hanya 20% yang benar-benar berpindah tangan dalam setahun, atau setara Rp740 triliun. Jika rata-rata keuntungan investor dari kenaikan harga emas adalah 5% per tahun, potensi keuntungan yang bisa dikenakan pajak mencapai Rp37 triliun.
Dengan tarif PPh final 0,5%, negara berpotensi mengantongi Rp185 miliar per tahun. Jika tarif 1%, penerimaan naik menja-di Rp370 miliar. Bila lebih ambisius, 2%, angkanya bisa tembus Rp740 miliar per tahun. Angka ini memang tidak sebesar penerimaan PPh dari sektor migas atau PPN, tetapi cukup signifikan sebagai sumber baru. Di sisi lain, ada kekhawatiran yang tak kalah penting. Jangan sampai kebijakan pajak yang berniat baik ini justru mematikan gairah investasi emas yang sedang berkembang.
Bagi kelas menengah ke bawah, emas menjadi pilihan yang lebih mudah dipahami ketimbang saham atau reksa dana. Maka, jika keuntungan emas dipotong pajak final, ada kemungkinan sebagian orang enggan menjadikannya instrumen utama. Alih-alih mendorong inklusi keuangan, kebijakan ini bisa jadi malah memperlambatnya.Di sinilah dilema muncul.
Negara butuh penerimaan, sementara masyarakat butuh rasa aman dalam berinvestasi. Solusinya tentu bukan sekadar menambah jenis pungutan, melainkan merancang kebijakan yang berimbang. Beberapa hal bisa dipertimbangkan.
Pertama, penentuan tarif PPh final harus realistis. Jika tarif terlalu tinggi, investor kecil bisa merasa terbebani. Misalnya, seseorang membeli emas senilai Rp10 juta, lalu menjualnya dengan harga Rp10,5 juta. Bila tarif pajak final ditetapkan 2%, maka Rp210.000 langsung dipotong. Angka itu mungkin terlihat kecil, tetapi bagi investor pemula bisa cukup membuat kapok. DJP perlu mencari titik tengah tarif yang cukup menambah penerimaan negara, tetapi tidak menggerus minat masyarakat.
Kedua, perlakuan khusus untuk investasi jangka panjang patut dipertimbangkan. Investor yang memegang emas lebih dari 5 tahun, misalnya, bisa mendapat tarif lebih rendah. Hal ini sejalan dengan tujuan besar pemerintah mendorong masyarakat menabung dan berinvestasi jangka panjang.
Ketiga, edukasi dan transparansi menjadi kunci. Banyak orang tidak melaporkan emas di SPT bukan karena niat menghindari pajak, melainkan karena kurang paham. DJP bisa bekerja sama dengan bank bullion, platform digital, maupun toko emas konvensional untuk memberikan edukasi sederhana, bagaimana cara melaporkan emas, bagaimana perhitungan pajaknya, dan apa manfaat kepatuhan pajak bagi negara.
Keempat, digitalisasi data emas perlu dipercepat. Jika transaksi emas terekam otomatis di platform resmi, pelaporan pajak akan lebih mudah. DJP tidak perlu sepenuhnya mengandalkan kejujuran individu, melainkan bisa memanfaatkan sistem terintegrasi layaknya sistem yang sudah dilakukan di saham dan perbankan.
Pada akhirnya, emas tetap akan menjadi primadona investasi di Indonesia. Budaya menyimpan emas sudah mendarah daging sejak lama, dari perhiasan yang diwariskan turun-temurun hingga tabungan emas digital yang kini bisa dibeli dengan nominal ratusan ribu rupiah saja. Tantangannya adalah bagaimana pemerintah hadir dengan aturan yang tidak sekadar memungut, tetapi juga mendorong pertumbuhan.
Pengenaan PPh final atas emas, jika benar-benar diberlakukan, seharusnya diran-cang sebagai win-win solution, negara mendapat peneri-maan baru, masyarakat tetap nyaman berinvestasi. Bukan sebaliknya, menjadi lose-lose situation di mana negara hanya mendapat tambahan kecil tetapi kepercayaan publik pada sistem investasi formal malah merosot.
Emas adalah simbol kestabilan dan kepercayaan. Jika regulasi pajaknya tepat, emas bisa jadi motor penggerak inklusi keuangan Indonesia. Jika salah langkah, emas justru akan kembali mengalir ke bawah bantal, disimpan diam-diam, dan hilang dari radar pajak negara