Oleh : NEMahfudzi – Pengamat Politik, Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID)
KNews.id – Jakarta, Transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto menyisakan tanda tanya besar di ruang publik. Meski tampil dalam satu barisan koalisi, relasi keduanya tidak dibangun atas dasar kesamaan ideologis, melainkan kompromi kekuasaan. Dalam perspektif power transition, ini menandai pergeseran dominasi dari kekuatan lama menuju kekuatan baru, lengkap dengan gesekan laten yang mulai terasa.
Di tengah situasi ini, publik mulai mempertanyakan: bagaimana Jokowi akan mempertahankan pengaruhnya pasca-pemerintahan? Sementara Prabowo, secara perlahan, mulai membangun orbit kekuasaannya sendiri yang tidak sepenuhnya mengandalkan figur Gibran Rakabuming Raka.
Prabowo sebagai Presiden terpilih tengah membangun konfigurasi kekuasaannya sendiri, perlahan melepaskan ketergantungan pada bayang-bayang Jokowi. Sementara Jokowi tampak mempertahankan pengaruhnya dengan menempatkan loyalis di posisi strategis, dan melalui figur Gibran Rakabuming sebagai Wakil Presiden—yang menjadi proyeksi politik jangka panjang sekaligus perpanjangan pengaruh pasca-kepresidenan.
Gibran sebagai Proyeksi Kekuasaan Baru
Gibran Rakabuming Raka tidak sekadar menjadi pendamping Prabowo dalam Pilpres 2024. Ia adalah simbol keberlanjutan pengaruh Jokowi. Dengan posisi sebagai Wakil Presiden serta dukungan dari jaringan relawan dan partai PSI, Gibran merupakan proyeksi politik jangka panjang bagi keluarga Jokowi.
Keberadaannya di pemerintahan mendatang bukan hanya sebagai pelengkap kekuasaan Prabowo, tapi juga sebagai penjaga kepentingan dan kesinambungan politik Jokowi di level strategis.
Stabilitas politik Indonesia ke depan bukan hanya ditentukan oleh siapa yang berkuasa secara formal, tetapi oleh bagaimana kutub-kutub pengaruh di antara elite mengelola transisi dan distribusi kekuasaan. Jika tidak diantisipasi, perang dingin antara dua poros ini bisa mengganggu konsolidasi demokrasi, memperlambat agenda pembangunan, dan memunculkan resistensi birokrasi dari dalam.
Dalam dinamika ini, publik menyaksikan potensi “perang dingin kekuasaan” yang bisa menguji stabilitas pemerintahan ke depan. Jika tidak dikelola secara arif, tarik-menarik kepentingan antarporos elite dapat memengaruhi kesinambungan pembangunan, merusak konsolidasi demokrasi, dan memperlemah legitimasi institusional negara.
Gejala “perang dingin kekuasaan” antara dua poros inilah yang kini menjadi potret laten dalam demokrasi elektoral Indonesia.
(FHD/NRS)