spot_img
Sabtu, Mei 18, 2024
spot_img

Politisasi Bansos, Guru Besar Paramadina: Jokowi Tergoda Rezim Neo-otoritarianisme

KNews.id –  Guru Besar Ekonomi Universitas Paramadina Didin S. Damanhuri menyebut Presiden Joko Widodo alias Jokowi tengah tergoda untuk membawa Indonesia pada rezim neo-otoritarianisme. Hal ini ia kemukakan setelah menganalisis dari perspektif ekonomi-politik selama lima tahun terakhir.

“Ada gejala bahwa Indonesia sedang berada di dalam fase kembali tergodanya Presiden Jokowi masuk pada neo-otoritarianisme. Bahkan, beberapa pihak sudah memastikan itu dengan gejala-gejala dan bukti-bukti yang sangat kuat bahwa kita masuk kembali pada rezim of neo-otoritarianisme,” tuturnya dalam diskusi daring melalui kanal YouTube Universitas Paramadina.

- Advertisement -

Dia juga menyinggung banyaknya akademisi yang mulai bersuara, sebagai bentuk kekecewaan terhadap kehidupan berdemokrasi Indonesia. Terkhusus pada Jokowi yang dituding berupaya membukakan jalan lebar bagi putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka untuk duduk di kursi Wakil Presiden RI 2024-2029. Jokowi disinyalir gencar menebar bantuan sosial atau Bansos sebagai salah satu cara untuk memuluskan jalan Gibran.

“Saya ingin memulai dengan sebuah analisis bahwa mengapa para cendikiawan, para pengamat, eks pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), para rektor, guru besar, dan lain sebagainya mengatakan bahwa Bansos sudah menjadi alat politik,” kata Didin.

- Advertisement -

Indikasi pertama menurut Didian adalah penggelontoran anggaran yang besar untuk Bansos menandakan tingginya tingkat kemiskinan Indonesia. Tujuan dari Bansos, kata Didin salah satunya adalah mengentaskan kemiskinan atau setidaknya meredam krisis sewaktu pandemi atau sebelumnya. Ketika itu, masyarakat mengalami penurunan daya beli dan proses pemiskinan.

“Jadi, Bansos sebagai shock absorber bagi masyarakat. Nah, pandemi ini kan sudah berakhir, kita masuk ke endemi dan kemiskinan menurut data juga sudah menurun, walaupun belum ideal.”

- Advertisement -

Dari sinilah timbul pertanyaan, mengapa akhirnya anggaran Bansos diperbesar, hingga sekitar Rp 500 triliun. Mestinya, jika datanya demikian, bisa dikatakan bahwa angka kemiskinan kembali meningkat tajam. Namun, kata Didin, hal ini tidak didukung oleh data. “Jadi memang ini sudah salah satu pertanyaan besar, bahwa pelontoran Bansos di era di mana kita akan Pilpres sudah menjadi alat politik,” tutur dia.

Indikasi kedua yang menjadi persoalan adalah karena Presiden Jokowi turun gunung menyerahkan Bansos-bansos tersebut. Padahal, menurut Didin, kuasa pemegang anggaran tersebut ada pada Menteri Sosial Tri Rismaharini. Persoalannya, Risma tidak dalam keadaan berhalangan atau sakit. Bahkan, ia tak tidak mendampingi Jokowi ketika pembagian Bansos. “Sehingga memperkuat kembali bahwa ini adalah suatu proses politisasi Bansos untuk kepentingan Pilpres.”

Dia juga menyinggung adanya stiker pasangan calon (Paslon) nomor urut dua Prabowo Subianto dan Gibran di kemasan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Bulog. “Dan yang makin mencolok ada bukti bahwa pembagian Bansos ini di sebagian daerah, sebagian tempat, dilabeli berlogo paslon tertentu, itu 02. Dengan pesan bahwa kalau 01 dan 03 menang, Bansos itu tidak akan diteruskan. Jadi, ini indikasi sangat kuat bahwa politisasi Bansos oleh Presiden Jokowi.”

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan peserta Pilpres 2024, yakni pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. nomor urut 3. Gibran merupakan anak sulung Jokowi.

KPU juga telah menetapkan masa kampanye mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, masa tenang pada tanggal 11—13 Februari, dan hari-H pemungutan suara pada tanggal 14 Februari 2024.

 

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini