KNews.id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menyatakan, pihaknya tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan tiga aktivis pro demokrasi terkait Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2024.
Diketahui, tiga aktivis bernama Petrus Hariyanto, Firman Tendry Masengi dan Azwar Furgudyama menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dengan klasifikasi perbuatan melawan hukum (PMH).
Ketiganya juga menggugat Presiden RI Joko Widodo sebagai turut tergugat I dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno selaku turut tergugat.
“Menyatakan pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara ini,” demikian bunyi putusan perkara nomod 752/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst yang dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat.
Diisi Petinggi Gerindra Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan mengabulkan eksepsi atau nota keberatan para tergugat dalam perkara ini. Atas putusan tersebut, para penggugat dihukum untuk membayar biaya pekara sebesar Rp 752.000.
Sebelumnya diberitakan, Koordinator Advokasi Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) 2.0, Patra M Zen yang menjadi kuasa hukum para penggugat menjelaskan, gugatan ini dilayangkan lantaran KPU menerima berkas pendaftaran Gibran sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto calon presiden.
Padahal, ketika Gibran didaftarkan sebagai bakal cawapres, Peraturan KPU nomor 19 tahun 2023 soal persyaratan usia belum diubah. “Yang digugat adalah saat pendaftaran, KPU itu masih menggunakan peraturan KPU nomor 19 tahun 2023.
Karena kita ingat pendaftarannya dilakukan tanggal 25 Oktober. Pertanyaannya kapan direvisi peraturan KPU nomor 23?” kata Patra usai mendaftarkan gugatan di PN Jakarta Pusat.
“Jadi pendaftaran ini menggunakan peraturan yang lama tapi diterima oleh KPU. Mestinya pendaftaran baru boleh diterima setelah adanya revisi peraturan yang baru,” ucapnya melanjutkan.
Dalam Peraturan KPU yang berlaku saat Gibran mendaftar, syarat menjadi capres dan cawapres minimal berusia 40 tahun, menyesuaikan dengan Undang-undang pemilu. Namun, dalam putusan MK, majelis hakim memutuskan bahwa seseorang bisa ikut mencalonkan diri sebagai capres-cawapres walau belum memenuhi usia minimum 40 tahun, asal berpengalaman sebagai pejabat yang terpilih lewat pemilu.
Putusan itu membuat putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dapat maju pada Pilpres 2024 pada usia 36 tahun, berbekal status Wali Kota Solo. Setelah terbitnya putusan MK, KPU akhirnya resmi meneken revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Pilpres.
Namun, PKPU Nomor 23 Tahun 2023 itu baru terbit pada 3 November 2023. “Oleh karenanya pendaftaran yang dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2023 semestinya KPU berkasnya dirobek atau dikembalikan,” kata Patra. “Jadi itulah perbuatan melawan hukum KPU menerima berkas pada tanggal 25 Oktober 2023 sebelum peraturan KPU-nya diperbarui atau direvisi,” imbuhnya.
Terhadap Anwar Usman, tiga aktivis pro demokrasi ini menilai eks Ketua MK itu terlibat konflik kepentingan dengan Gibran Rakabuming. Sebab, gugatan 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres dan cawapres diajukan Almas Tsaqibbirru, seorang pelajar/mahasiswa kelahiran tahun 2000 dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo secara terang-terangan mengakui dirinya “pengagum” Wali Kota Solo Gibran Rakabuming.
Terlebih, dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Anwar Usman terbukti melanggar etik berat hingga diberhentikan dari jabatan ketua. “Semestinya ketika ada pengajuan perkara 90, beliau tidak boleh duduk dalam majelis dan sudah dinyatakan pelanggaran oleh MKMK.
Maka kita ajukan gugatan melawan hukum kepada bapak Anwar Usman,” kata Patra Dalam gugatan ini, para penggugat meminta majelis hakim PN Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk mengabulkan gugatan PMH yang diduga dilakukan para tergugat.
Mereka juga meminta KPU menghentikan proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres dalam pemilu tahun 2024 lantaran berkasnya diterima sebelum peraturan KPU direvisi.
“Kita juga minta diletakan sita ganti kerugian yang diajukan oleh para aktivis ini materilnya Rp 10 juta dan immateriil tadi disampaikan sudah ada sebesar Rp 1 triliun,” kata Patra.