Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc MA
KNews.id- Baru-baru saja WHO menyatakan bahwa virus corona (covid 19) telah meningkat derajat penyebarannya dari wabah menjadi epidemi dan akhirnya sekarang menjadi pendemi. Yaitu penyebarannya sudah internasional, dan negara-negara internasional gagal dalam membendung penyebaran tersebut.
Dan telah mencapai lebih dari 100 ribu kasus hingga saat ini, dan kematian telah mencapai ribuan. Yang menjadi spesifik dari covid 19 adalah penyebarannya yang begitu cepat dan begitu mudah, berbeda dengan virus-virus yang sebelumnya. Dan qodarullah kota Jakarta tercinta telah terjangkiti wabah covid 19, dan setiap hari semakin banyak yang terjangkiti.
Berikut beberapa permasalahan fikih yang berkaitan dengan tersebarnya virus corona:
Terkait Masuk dan Keluar dari Kota yang Terkena Wabah
Pertama : Jika mendengar ada corona terjadi di sebagian kota maka orang-orang yang berada di luar kota tersebut tidak boleh masuk ke kota tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihissam bersabda:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut” (HR Al-Bukhari 3473 dan Muslim no 2218)
Adapun hikmah tidak mendatangi ke area tersebut adalah agar tidak tertular, sebagaimana sabda Nabishallallahu álaihi wasallam,
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah no 783)
Ini menunjukan seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh agar menghindar dari orang yang sedang berpenyakit menular, karena Nabi shallallahu álaihi wasallam menyuruh untuk lari seperti lari dari ganasnya singa. Dan Allah berfirman :
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan” (QS Al-Baqoroh : 195)
Kedua : Barang siapa yang berada di lokasi wabah maka tidak boleh keluar dari lokasi tersebut jika karena ingin menghindar, karena sabda Nabi di atas. Ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama tentang sebab larangan ini, diantaranya :
Pertama : Agar wabah tersebut tidak lebih luas penyebarannya. Nabi shallallahu álaihi wasallambersabda :
لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ
“Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat” (HR Al-Bukhari no 5774 dan Muslim no 2221)
Kedua : Jika semua orang sepakat untuk keluar dari lokasi maka jadilah orang yang tidak mampu untuk keluar -karena sudah parah- tidak akan ada yang mengurusi mereka, baik dalam kondisi ia sakit atau setelah ia meninggal. Yaitu jika dia sakit tidak ada yang merawatnya, dan jika ia meninggal maka tidak ada yang menguburkannya.
Ketiga : Jika dibolehkan untuk keluar dari lokasi wabah maka orang-orang yang kuat akan keluar dan tentu ini akan menghancurkan hati orang-orang yang tidak mampu keluar karena mereka ditinggalkan oleh saudara-saudara mereka. Demikian juga semakin memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka.
Keempat : Dengan tidak keluar maka orang-orang yang bertahan hidup mampu untuk memiliki kemampuan menghadapi penyakit tersebut dengan kondisi cuaca yang ada. Bisa jadi jika mereka keluar kondisinya berbeda. Berkaitan dengan corona ternyata lebih banyak yang bertahan hidup daripada yang meninggal.
Kelima : Sangat memungkinkan bahwa orang yang keluar lantas selamat maka ia akan berkata, “Seandainya aku bertahan (tidak keluar) tentu aku akan terkena wabah”, dan sebaliknya yang terkena wabah akan berkata, “Seandainya aku keluar tentu aku akan selamat”. Dan perkataan “seandainya” yang seperti ini dilarang oleh syariát. (Lihat poin kedua hingga kelima di Fathul Baari 10/189)
Keenam : Orang yang keluar akan melewatkan dirinya dari kesempatan untuk meraih pahala mati syahid. Karena jika ia bertahan dengan sabar maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid apakah ia meninggal ataukah sakit lalu sembuh, atau tidak terkena wabah sama sekali. (Lihat : Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/10-11)
Karena barang siapa yang bersabar untuk tidak keluar dari lokasi wabah karena mencari wajah Allah maka ia mendapatkan pahala mati syahid meskipun ia selamat, dengan syarat ia tidak mengeluh.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata :
أَنَّ أَجْرَ الشَّهِيدِ إنَّمَا يُكْتَبُ لِمَنْ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ بَلَدِ الطَّاعُونِ، وَأَقَامَ قَاصِدًا ثَوَابَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى رَاجِيًا صِدْقَ وَعْدِهِ عَارِفًا أَنَّهُ إنْ وَقَعَ لَهُ أَوْ صَرَفَهُ عَنْهُ فَهُوَ بِتَقْدِيرِ اللَّهِ غَيْرَ مُتَضَجِّرٍ بِهِ إنْ وَقَعَ بِهِ
“Pahala mati syahid hanyalah tercatat bagi orang yang tidak keluar dari daerah wabah thoún, dan ia menetap karena mencari pahala dari Allah, berharap janji Allah, menyadari bahwa jika wabah tersebut menimpanya atau terhindar darinya semuanya dengan taqdir Allah, dan ia tidak mengeluh jika menimpanya” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/14)
Lari keluar dari lokasi wabah merupakan dosa besar, karena disamakan seperti lari dari medan pertempuran, sementara lari dari medan pertempuran merupakan dosa besar. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
الْفَارُّ مِنَ الطَّاعُونِ، كَالْفَارِّ مِنَ الزَّحْفِ
“Orang yang lari dari wabah tho’un seperti orang yang lari dari medan pertempuran” (HR Ahmad no 14477 dan dinilai hasan lighoirihi oleh al-Arnauth dan juga al-Albani di as-Shahihah no 1292)
Ketiga : Yang dilarang adalah lari dari lokasi wabah karena ingin terhindar dari wabah, yaitu berdasarkan sabda Nabi فِرَارًا مِنْهُ “karena lari dari wabah”. Adapun jika seseorang keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan lain maka hal ini tidaklah mengapa. Contoh ia keluar dari lokasi wabah karena ada tugas dan pekerjaan, atau karena harus menjenguk orang tua dan karena hal-hal yang lain, yang tentunya hanya Allah yang mengetahui niatnya yang sesungguhnya.
An-Nawawi berkata :
أما الْخُرُوْجُ لِعَارِضٍ فَلاَ بَأْسَ بِهِ… وَاتَّفَقُوا عَلَى جَوَازِ الْخُرُوجِ بِشُغْلٍ وَغَرَضٍ غَيْرِ الْفِرَارِ
“Adapun keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan (bukan untuk menghindar dari wabah) maka tidak mengapa….dan para ulama sepakat akan bolehnya keluar karena pekerjaan atau tujuan lain selain menghindar dari wabah” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/205-207)
Ibnu Hajar al-Ásqolani berkata :
وَمَنْ خَرَجَ لِحَاجَةٍ مُتَمَحِّضَةٍ لَا لِقَصْدِ الْفِرَارِ أَصْلًا وَيُتَصَوَّرُ ذَلِكَ فِيمَنْ تَهَيَّأَ لِلرَّحِيلِ مِنْ بَلَدٍ كَانَ بِهَا إِلَى بَلَدِ إِقَامَتِهِ مَثَلًا وَلَمْ يَكُنِ الطَّاعُونُ وَقَعَ فَاتَّفَقَ وُقُوعُهُ فِي أَثْنَاءِ تَجْهِيزِهِ فَهَذَا لَمْ يَقْصِدِ الْفِرَارَ أَصْلًا فَلَا يَدْخُلُ فِي النَّهْيِ
“Barang siapa yang keluar karena murni kebutuhan bukan sama sekali karena hendak menghindar dari wabah, dan kondisi ini bisa tergambarkan pada orang yang hendak bersiap bersafar dari suatu negeri yang ditinggalinya menuju negeri tempa menetapnya misalnya, dan wabah thoún belum mewabah, lalu tiba-tiba bertepatan muculnya wabah dengan kondisinya yang hendak bersafar, maka orang ini sama sekali tidak bermaksud untuk menghindar dari wabah, maka ia tidak termasuk dalam larangan” (Fathul Baari 10/188)
Namun tetap saja seseorang yang merasa sehat ketika harus meninggalkan kota wabah karena ada keperluan maka hendaknya ia benar-benar memperhatikan segala kemungkinan, jangan sampai ia malah memindahkan virus yang masih dalam masa inkubasi dalam dirinya. Jika dia pun harus keluar maka jangan berkontak dengan siapapun hingga selesai masa inkubasi (sekitar 2 minggu) untuk memastikan bahwa ia telah sehat dan bebas corona. Wallahu a’lam.
Keempat : Jika ternyata wabah sudah menyebar dan kasusnya sama antara kota A dan kota B atau serta kota C, maka tidak mengapa seseorang masuk dan keluar dari dan menuju kota-kota tersebut, karena sama hukumnya, sama-sama lokasi wabah. Ibnu Hajar al-Haitami
لَوْ عَمَّ إقْلِيمًا لَمْ يَحْرُمْ الْخُرُوجُ مِنْ بَعْضِ قُرَاهُ إلَى بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ لَا فِرَارَ حِينَئِذٍ أَلْبَتَّةَ
“Jika wabah telah meliputi suatu negara maka tidak mengapa keluar dari satu daerahnya ke daerah yang lain, karena pada kondisi demikian tidak ada bentuk lari lagi” (Al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/11)…bersambung. (Fahad Hasan)