Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc MA
…….Pertama : Dianjurkan untuk qunut nazilah meskipun karena wabah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiíyah).
An-Nawawi berkata :
الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ إِنْ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ كَعَدُوٍّ وَقَحْطٍ وَوَبَاءٍ وَعَطَشٍ وَضَرَرٍ ظَاهِرٍ فِي الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوِ ذَلِكَ قَنَتُوا فِي جَمِيعِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ
“Dan yang benar dan masyhur bahwasanya jika terjadi musibah seperti musuh (yang menyerang), musim kekeringan, wabah, dan kemudorotan yang jelas pada kaum muslimin dan musibah yang semisalnya maka kaum muslimin melakukan qunut di seluruh shalat lima waktu” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 5/176)
Asy-Syirbini berkata :
يُسَنُّ (الْقُنُوتُ) بَعْدَ التَّحْمِيدِ (فِي) اعْتِدَالِ أَخِيرَةٍ (سَائِرٍ) أَيْ بَاقِي (الْمَكْتُوبَاتِ لِلنَّازِلَةِ) الَّتِي نَزَلَتْ كَأَنْ نَزَلَ بِالْمُسْلِمِينَ خَوْفٌ أَوْ قَحْطٌ أَوْ وَبَاءٌ أَوْ جَرَادٌ أَوْ نَحْوُهَا
“Disunnahkan untuk qunut setelah “samiállahu liman hamidah rabbana lakal hamdu” di i’tidal rakaat yang terakhir di seluruh shalat lima waktu karena ada nazilah (musibah) yang menimpa. Seperti kaum muslimin ditimpa dengan ketakutan, musim kering, wabah, belalang, dan yang semisalnya” (Mughnil Muhtaaj 1/317)
Kedua : Tidak dianjurkan untuk qunut nazilah jika karena wabah, dan ini adalah pendapat madzhab Hanbali.
Al-Buhuti berkata :
لَا يَقْنُتُ لِرَفْعِ الْوَبَاءِ فِي الْأَظْهَرِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ الْقُنُوتُ فِي طَاعُونِ عَمَوَاسَ، وَلَا فِي غَيْرِهِ وَلِأَنَّهُ شَهَادَةٌ لِلْأَخْيَارِ، وَلَا يُسْأَلُ رَفْعُهُ
“Tidak qunut untuk menghilangkan wabah menurut pendapat hambali yang lebih kuat, karena tidak ada dalil adanya qunut dikarenakan thoún ámawas dan thoún yang lainnya, dan karena wabah adalah pahala mati syahid bagi orang-orang yang baik, dan tidak berdoa untuk menghilangkannya” (Syarh Muntahaa al-Irodaat 1/242)
Pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, karena asalnya kita disyariátkan untuk berdoa dalam rangka menghilangkan musibah. Para ulama (termasuk ulama madzhab Hanbali) sepakat jika ada musuh yang menyerang maka maka boleh untuk melakukan qunut nazilah, padahal datangnya musuh juga merupakan sebab untuk meraih pahala mati syahid.
Jika demikian maka boleh juga qunut untuk dihilangkannya wabah, meskipun wabah juga merupakan sebab mati syahid. Demikian juga jika boleh qunut karena musim kering maka wabah lebih berbahaya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah (Arab Saudi). Mereka berkata :
أَمَّا الْقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي غَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فَلاَ يُشْرَعُ بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ إِلاَّ إِذَا نَزَلَ بِالْمُسْلِمِيْنَ نَازِلَةٌ مِنْ عَدُوٍّ أَوْ غَرْقٍ أَوْ وَبَاءٍ أَوْ نَحْوِهَا فَإِنَّهُ يُشْرَعُ الْقُنُوْتُ لِرَفْعِ ذَلِكَ
“Adapun qunut dalam shalat subuh dan shalat-shalat lima waktu yang lainnya maka tidak disyariátkan, bahkan itu adalah bidáh. Kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin seperti datangnya musuh, atau tenggelam (karena banjir dan lainnya-pen), atau wabah, atau yang semisalnya, maka disyariátkan qunut untuk diangkatnya musibah tersebut” (Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 7/46 no 2222)
Catatan :
Para ulama berselisih apakah qunut nazilah dilakukan di semua shalat ataukah sebagian shalat saja?. Sebagian ulama hanya membolehkan qunut di shalat jahriyah saja (ini pendapat ulama Hanafiyah, lihat Hasyiat Ibni Ábidin 2/11). Sebagian ulama membolehkan qunut nazilah kecuali shalat jumát karena dicukupkan doanya Khothib dalam khutbah (ini pendapat yang mu’tamad di madzhab hanbali, lihat Syarh Muntahal Irodaat 1/242).
Dan sebagian ulama membolehkan qunut dilakukan di seluruh shalat wajib, baik shalat lima waktu maupun shalat jumát (ini adalah pendapat Syafiíyah, lihat Mughnil Muhtaaj 1/371, dan ini pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Útsaimin lihat asy-Syarh al-Mumti’ 4/47) .
Dengan demikian boleh qunut pada semua shalat wajib, dan tidak mengapa juga qunut pada sebagian shalat saja. Dan qunutnya dilakukan pada rakaát yang terakhir ketika i’tidal (setelah mengucapkan “Rabbanaa walakal hamdu”)
Jika qunut di shalat sirriyah (seperti dzuhur dan ashar) maka imam tetap menjaharkan doa qunutnya dan para makmum tetap mengaminkan.
Keempat : Hukum memakai hand sanitizer yang mengandung alcohol 70 persen, lantas tidak mencucinya kemudian shalat. Hal ini diperbolehkan karena alkhohol bukan berarti pasti khomr. Memang khomer mengandung alcohol, akan tetapi tidak semua alcohol adalah khomr. Apalagi cairan yang mengandung alcohol 70 persen maka itu bukan khomr.
Lagi pula pendapat yang benar bahwasanya khomr pun tidak najis sehingga yang dilarang adalah jika diminum karena bisa memabukkan. Apalagi alcohol bukan khomr. Jadi penggunaan hand sanitizer tidak membatalkan wudhu. (Jika seseorang yang menyentuh najis tidak batal wudhunya, tapi ia hanya tinggal membersihkan dirinya dari najis tersebut, apalagi menyentuh alcohol yang tidak najis).
Kelima : Bolehnya shalat dengan merenggangkan shaf (saling menjauh dalam shaf) agar tidak bersentuhan. Tentu diantara kesempurnaan shalat adalah dengan merapatkan shaff, akan tetapi jika kondisinya darurat maka tidak mengapa sebagian kewajiban ditinggalkan apalagi perkara yang sunnah untuk ditinggalkan.
Jika memang shalat berjamaah masih ditegakan di kota yang berwabah korona maka tidak mengapa bagi jamaáh untuk saling menjauh ketika shalat dikarenakan kawatir terjadinya kontak fisik memudahkan penyebaran virus corona.
Terkait Kegiatan Harian
Pertama : Sebaiknya untuk tidak berjabat tangan ketika bertemu, dan hendaknya mencukupkan dengan salam dengan lisan saja. Karena yang paling utama dari salam adalah doa dengan ucapan lisan, adapun berjabat tangan maka ini dianjurkan, namun jika dikawatirkan bisa menjadi sarana penularan virus maka hendaknya ditinggalkan.
Kedua : Sebaiknya mengurangi kegiatan di luar rumah yang menimbulkan banyak interaksi dengan orang lain. Jika terpaksa harus keluar karena tuntutan pekerjaan dan yang lainnya, maka hendaknya tetap berikhtiar dengan banyak mencuci tangan dan lain lain seuai arahan para ahli kesehatan.
Catatan :
Di antara kasih sayang Allah adalah semua kebiasaan amal shalih yang biasa kita kerjakan, jika ada halangan syarí yang menjadikan kita tidak bisa melaksanakannya maka pahala tetap saja mengalir berdasarkan kebiasaan kita.
Nabi shallallahu álaihi wasallam, bersabda :
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar maka tetap dicatat baginya seperti apa yang biasa ia kerjakan tatkala tidak bersafar dan tatkala sehat” (HR Al-Bukhari no 2996)
Maka jika kebiasaan kita adalah shalat berjamaah dan shalat jumát, maka meskipun sekarang kita tidak melakukannya, kita akan tetapi mendapatkan pahalanya, karena itu adalah kebiasaan kita. Jika sekarang kita tidak bisa berjabat tangan dengan saudara-saudara kita (untuk mencegah penularan) maka tetap saja dosa-dosa kita berguguran jika bertemu dengan saudara kita meski tanpa berjabat tangan. Hal ini karena kebiasaan ketika kondisi normal adalah berjabatan tangan.(Fahad Hasan)
Discussion about this post