Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc MA
Terkait Shalat Berjamaáh
Pertama : Boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.
Jika kota telah ditetapkan sebagai kota wabah, dan sudah semakin banyak korban maka tidak mengapa seseorang untuk tidak shalat berjamaáh dan bahkan tidak mengapa untuk meninggalkan shalat jumát.
Hal ini karena diantara hal yang bisa menjadikan kewajiban berjamaáh adalah hujan, takut, sakit, angin kencang, dan semisalnya, maka bagaimana lagi dengan kawatir dengan virus yang bisa menimbulkan kematian dan tersebar begitu cepat.
Kaidah pertama : Semua udzur yang membolehkan untuk meninggalkan shalat berjamaáh itulah juga udzur untuk membolehkan meninggalkan shalat jumát
أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ، هِيَ أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجُمْعَةِ، فَلاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى خَائِفٍ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، وَلاَ عَلَى مَنْ فِي طَرِيْقِهِ مَطَرٌ، وَلاَ عَلَى مَنْ لَهُ مَرِيْضٌ يَخَافُ ضَيَاعَهُ
“Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjamaáh itulah udzur untuk meninggalkan shalat jumát. Maka tidak wajib jumát bagi orang yang takut atas (keburukan menimpa) dirinya, atau menimpa hartanya, demikian juga orang yang kehujanan dalam perjalanannya (menunju masjid), demikian orang yang sedang mengurusi orang sakit yang dikawatirkan akan terlalaikan (jika ia meninggalkannya untuk shalat jumát)” (Al-Bayaan fi madzhab al-Imam Asyafií 2/545)
Kaidah kedua : Udzur-udzur tersebut bersifat umum yaitu semua hal yang menimbulkan kesulitan. An-Nawawi berkata :
أَنَّ بَابَ الْأَعْذَارِ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لَيْسَ مَخْصُوصًا بَلْ كُلُّ مَا لَحِقَ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ فَهُوَ عُذْرٌ وَالْوَحَلُ مِنْ هَذَا
“Sesungguhnya permasalahan udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh bukanlah udzur khusus, akan tetapi semua yang mendatangkan kesulitan yang berat maka termasuk udzur. Dan becek termasuk udzur” (Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzzab 4/384)
Jika becek dan hujan saja bisa menjadi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamáah maka apalagi kawatir terkena penyakit korona yang bisa merenggut nyawa, bukan nyawa sendiri bahkan nyawa keluarga dan banyak orang (karena resiko penularan yang begitu cepat). Demikian juga orang yang sakit dan yang kawatir terkena penyakit maka boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.
Al-Mardawi berkata :
{وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ} بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ
“Dan orang yang sakit diberi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh tanpa ada perselisihan. Dengan diberi udzur juga untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh karena ketakutan munculnya penyakit” (Al-Inshoof 2/300)
Jika seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaáh karena makanan yang sudah hadir dan juga karna menahan buang air karena pikirannya tersibukan tidak bisa khusyu’, maka terlebih lagi ketakutan terhadap virus corona. Bagaimana seseorang shalat sementara pikirannya paranoid terhadap dirinya dan orang-orang disekitarnya.
Terlebih lagi virus corona tidak kelihatan, dan juga orang yang terjangkiti virus tersebut bisa jadi tidak langsung nampak tanda-tandanya. Bisa jadi ia merasa sehat ternyata ia terjangkiti, lantas ia berinterakasi dengan orang-orang lain akhirnya ia ikut menularkan virus tersebut.
Juga berdasarkan kaidah fikih
دَفْعُ الْمَضَارِّ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak kemudorotan didahulukan daripada meraih kemaslahatan”
Alhamdulillah ulama al-Lajnah ad-Daimah (Arab Saudi) telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Rajab 1441 (12 Maret 2020) yang berkaitan dengan virus corona, diantara poin-poin fatwa tersebut :
مَنْ خَشِيَ أَنْ يَتَضَرَّرَ أَوْ يَضُرُّ غَيْرَهُ فَيُرَخَّصُ لَهُ فِي عَدَمِ شُهُوْدِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهَ، وَفِي كُلِّ مَا ذُكِرَ إِذَا لَمْ يَشْهَدِ الْجُمُعَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّيْهَا ظُهْراً أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
“Barangsiapa yang kawatir mendapatkan kemudorotan atau memberi kemudorotan kepada orang lain maka ia diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jumát dan shalat jamaat, berdasarkan sabda Nabi لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain” (HR Ibnu Majah). Dan pada kesemuanya jika seseorang tidak menghadiri shalat jumát maka ia menggantinya dengan shalat dzuhur 4 rakaát” (https://www.spa.gov.sa/2047028)
Kedua : Apakah dalam azan sudah perlu mengucapkan “Sholluu fii Rihaalikum” (Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian)”?
Jika memang wabah sudah mencapai tingkat penyebaran yang tinggi di sebuah kota maka tidak mengapa muadzin tatkala mengumandangkan adzan mengucapkan lafal tersebut, agar orang-orang shalat di rumah-rumah mereka.
Ketiga : Boleh shalat memakai masker
Hukum shalat dengan menutup mulut adalah makruh menurut 4 madzhab (Lihat : Badaí Ash-Shanai’ 1/216, Syarh Mukhtashor al-Kholil 1/250, Al-Majmuu’ 3/179, dan Al-Mughni 1/419) karena menyerupai orang-orang majusi tatkala beribadah atau karena bentuk berlebihan dalam beribadah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ánhu bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallammelarang di dalam shalat
أنْ يُغَطِّيَ الرجلُ فَاهُ
“Seseorang menutup mulutnya” (HR Abu Daud no 643 dan Ibnu Majah no 966, dan dihasankan oleh Al-Arnauuth dan al-Albani di al-Misykaah no 764)
Namun hukum ini berubah jika ada kebutuhan seperti jika seseorang menguap maka ia bisa menutup mulutnya (Lihat Maáalim as-Sunan, al-Khottobi 1/179), demikian juga jika karena pekerjaannya (Lihat Mawahibul Jalil 1/503), atau karena penyakit (Lihat Majmuu Fataawa Ibn Baaz 11/114), maka demikian pula jika ia takut tertular penyakit atau takut menularkan penyakit. Jika wabah di suatu kota belum parah dan masih memungkinkan untuk shalat berjamaáh maka tidak mengapa seseorang shalat sambil memakai masker.
Ketiga : Hukum qunut nazilah disaat wabah menyebar kuat Para ulama sepakat disyariátkannya qunut jika ada musibah (nazilah) yang menimpa kaum muslimin. Hanya saja mereka berselisih bagaimana jika musibah tersebut adalah wabah?. Secara umum para ulama berselisih menjadi dua pendapat. (Fahad Hasan)