spot_img
Selasa, April 30, 2024
spot_img

Pengadilan Sesat, Bambang Tri dan Gusnur di Tuntut Berdasarkan Pancasila dan UUD-NRI 1945, Harus di Bebaskan

 

Oleh M Yamin Nasution-Pemerhati Hukum

- Advertisement -

KNews.id – Kata Jáksa, saat ini Jaksa, dalam sejarahnya diambil dari kata ‘NITIPRAJA’ dengan arti Meneliti dan Menjaga. Hal ini sesuai dengan papan nama didepan kantor Kejaksaan paska jatuhnya kerajaan Majapahit, dimana papan nama tersebut bertulisakan “Jáksa”.

Dimana fungsi Jaksa dalam persidangan kasus-kasus tingkat pertama hanya mencatat keterangan-keterangan para pihak yang dihadirkan didalam Pengadilan dan Polisi menjaga keamanan sebagai pendamping Jaksa.

- Advertisement -

Persidangan digelar di rumah-rumah ibadah, yang menjadi hakim adalah para pendeta bagi agama yang bukan islam, sedangkan bagi islam hakimnya adalah Kyai atau ulama Islam.

Apabila pihak melakukan banding, maka kasus tersebut ditangani penuh oleh Jaksa tanpa melibatkan unsur pertama yang disebutkan (Sir. Stamford Rafles, 1817).  Model pengadilan yang sama terjadi diseluruh dataran Eropa, termasuk pengadilan Romawi (Henricus Michaelis, 1676).

- Advertisement -

Tradisi tersebut menunjukkan kuatnya hubungan agama dan hukum positif khususnya hukum pidana. Seperti J. Anselm von Feuerbach  menulis buku “Lehrbruch des gemeinen in Deutchland geltenden PEINLICHEN RECHTS, 1801”, dimana ia untuk pertama kali menuliskan tentang asas legalitas. Kata PEINLICHEN” artinya perbuatan memalukan didepan umum, menunjukkan hubungan agama dengan hukum pidana. Keterangan sama juga diutarakan banyak ahli lain terdahulu.

Tentunya, kelemahan-kelemahan hukum campuran antara hukum agama yang dimasukkan kedalam hukum positif (juris mixtum) dalam pembuktian sangat mempengaruhi pembuktian dan putusan itu sendiri.

Contoh kelemahan hukum agama dalam hukum pembuktian pidana adalah kasus perzinahan, pasal 284 KUHP memiliki ruh dari keyakinan Nasrani merujuk pada Mathius 19:6 berbunyi :

Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.

Oleh sebab itu, dalam paradigma hukum pidana yang dianggap perzinahan hanyalah mereka yang telah menikah dimana salah satu atau keduanya melakukan serong dengan yang lain (percampuran peccetum dan crimen).

Dahulu kasus seperti diatas tidak membutuhkan bukti-bukti yang banyak dipengadilan Gereja, apabila seseorang yang telah menikah diketahui publik atau pasangannya berduaan disuatu tempat yang tak seharusnya, maka telah melanggar hukum agama dan hukum negara, dan itu perbuatan dosa “peccetum”, dan dosa adalah kejahatan “crimen”.

Dua alat bukti yaitu: Pertama, melanggar hukum tuhan, dan Kedua, melanggar hukum negara (hukum agama yang ditetapkan menjadi hukum negara). Oleh sebab itu kasus-kasus yang berkaitan dengan agama, baik perzinahan, pelecahan banyak mengalami masalah, disebabkan susahnya menemukan bukti-bukti (Williem Anthony Hellegers, 1882).

Kami tidak ingin terlalu lama dalam prolog diatas, namun perlu diketahui bagaimana suatu hukum yang memiliki ruh teologi Nasrani hidup dinegara yang memiliki goloyang muslim majority, tentunya akan sangat mempengaruhi secara sosiologis, dan penolakan masyarakat terhadap hukum tersebut akan banyak, perlu dipikirkan ulang sehingga ada penyesuaian yang lebih tepat.

Hukum Pidana

Hukum pidana  dalam pemidanaan pada dasarnya hanya mencari kebenaran materil setidak-tidanya mendekati kebenaran materiil, dan hanya hukum pidana itu sendiri yang menentukan hukuman atas seseorang.

Larangan Hakim Manafsir Hukum Pidana

Oleh sebab itu, seluruh ahli hukum baik Montesquieu, 1819 “De I’esprit des lois” vol 1-10 mengatakan bahwa hakim corong UU, hakim hanya menyampaikan/pengeras hukuman berdasarkan UU yang mengatur.

Immanuel Kant, 1779 “Metaphysische Anfangsgründe der Rechtslehre” mengatakan hakim tidak dibenarkan menafsir hukum pidana

Feuerbach, 1801 dalam buku yang kami sebutkan diatas mengatakan, pengadilan hanya sarana penjatuhan hukuman, hal ini sejalan dengan salah satu larangan yang turun dari kalimat asas legalitas yaitu; larangan analogi hukum, penafsiran hukum bagi hakim.

Ceaser Beccaria, 1828 “Dei Delitti e Della Pene” mengatakan: Hakim terlarang menafsir uu dengan alasan hakim bukan pembuat uu, bila hakim menafsir uu maka anda akan menemukan suatu kasus yang sama dibawah pengadilan berbeda dan dibawah yuridiksi hukum yang sama, namun hukuman berbeda. Bila hakim menafsir uu pidana maka pintu ketidakadilan terbuka luas.

A.I van Deinse, 1835 ahli hukum Belanda mengatakan persoalan hukum belanda turunan kolonial Prancis adalah penjabaran tentang kejahatan umum tidak ada, sehingga Belanda merujuk pada pidana Jerman, yaitu Feuerbach.

A.A Pintu, 1850 “Themis” mengatakan bahwa semua hukum yang ada di Hindia Belanda (Indonesia) telah ditafsir dengan semena-mena oleh komite pembentukan hukum termasuk hukum pidana, bahkan dari segi Bahasa.

Prof. Dr. Soepomo, 1975 “Bab-Bab Hukum Adat” mengatakan bahwa kebebasan hakim dalam menafsir uu untuk harus melahirkan rasa keadilan dimasyarakat, hanya dalam hukum perdata dan hukum dagang, tidak dalam hukum pidana.

Dua Asas Hukum Pembuktian

Hukum pidana Indonesia tidak melepaskan asas-asas hukum yang bersifat universal, tujuannya adalah agar hakim dalam pemidanaan tetap menjaga rasionalitas argument hukum sehingga dapat diterima oleh terdakwa, dan dapat menjadi kebenaran hukum.

PERTAMA. “Actori Incumbit Probatio” siapa yang mendalilkan maka dia harus membuktikan. Asas ini bertujuan untuk menjaga objektivitas dalam persidangan. Bahwa setiap barang bukti, alat bukti harus dilahirkan dari kejujuran. Kata “Probatio” lahir dari dua dasar kata, yaitu “Proba” yang artinya bukti dan “Probus” artinya kejujuran, kejujuran moral.

KEDUA. “Homo non elephabus, Lux non est subtantia” Manusia bukan hewan, dan kecerdasan bukanlah subtansi (L. Frederico Weis, 1724).

Pada saat diruang persidangan kedua belah pihak sudah saling marah dan membenci (perdata dan Pidana). Dalam hukum pidana JPU akan terus berusahan meyakinkan hakim bahwa seorang terdakwa bersalah dan harus dijatuhkan hukuman sesuai tuntutan.

Kedua belah pihak tidak lagi mengutamakan kecerdasannya, walaupun manusia bukan hewan “elephabus”yang tak punya pikiran, namun saat di penuntutan kecerdasan bagi keduanya bukanlah subtansi. Dan dengan semua barang bukti yang bersifar subjektif (Feuerbach 1801, barang bukti bersifat subjektif).

Maka hakim harus dan wajib memfasilitasi dan aktif untuk mendapatkan bukti-bukti yang dibutuhkan sehingga dapat menemukan kebenaran materiil atas tuduhan terhadap seseorang. Dalam hal ini, Ijazah Asli Jokowi, bukan foto copy legalisir, kedepan akan menjadi yurisprudensi buruk, bila kertas Foto Kopi dijadikan kebenaran barang bukti. Sejak kapan foto kopi leges adalah asli?

Hukum Ujaran Kebencian

Merujuk ke Prof. Dr. Alexander Brown dan Dr. Andriana Sinclair peneliti PBB, bahwa ujaran kebencian lahir dari 5 sebab, yaitu 1. Bahasa, 2). Kelompok, seseorang dapat mengatakan bahwa seorang yang lain membenci seorang lain, dan disisi lain bahwa penuduh menggunakan kekuasan untuk memenjarakan. 3). Tokoh adat, 4). Tokoh Politik, termasuk presiden adalah tokoh politik, Ketika dia tidak memenuhi janjinya maka bagian penyebab ujaran kebencian, begitu juga bila tokoh politik dianggap tidak memenuhi kwalifikasi maka akan dipertanyakan oleh sekolompok lain. 5). Media sosial, 6). Hubungan Internasional.

A.A Pinto, 1850 adalah ahli hukum Belanda yang sering digunakan rujukan oleh ahli hukum terdahulu termasuk Prof. Sahetapy  memberikan tanggapannya atas aturan ujaran kebencian ini, ia mengatakan: Syarat formil dan materiil atas aturan ujaran kebencian adalah seseorang presiden harus benar-benar benci terhadap rakyat bila ingin memenjarakan rakyatnya sendiri, dan syarat trakhir adalah intelektualitas, bila seorang presiden memiliki kecerdasan maka ia cukup diam, dan itu akan berkahir dengan sendirinya.

Alasan Bambang Tri dan Gus Nur Harus Dibebaskan

Dalam tuntutan JPU, Bambang Tri dan Gus Nur dituntut oleh JPU berdasarkan Pasal 14 Ayat 1 UU RI Nomor 1 tahun 1946, jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, dengan alasan JPU karena kedua terdakwa melakukan secara bersama-sama dalam PodCast Gusnur.

Tanggal 9 maret 2023 sidang pembuktian dengan menghadirkan Rocky Gerung sebagai saksi ahli dari pihak terdakwa.

FAKTA SESATNYA TUNTUTAN JPU DIRUANG PENGADILAN

Fakta Kesesatan Pertama. Bahwa PU pertama memberikan analogi hukum, Bambang Tri Seolah-olah memiliki kebencian terhadap presiden. Dapatkah kita bayangkan kata seolah-olah menjadikan dasar sebagai penuntutan.

Fakta Kesesatan Kedua. Bahwa JPU Perempuan berjilbab biru memberikan argumentasi penuntutan berdasarkan Pancasila, pernah dalam tradisi hukum pidana nasional dan seluruh dunia menuntut seseorang berdasarkan DASAR NEGARA? Hans Kelsen adalah orang yang pertama berbicara tentang dasar negara sebagai sumber hukum, dan tidak memfungsikannya sebagai penuntutan dalam pidana. Dan bahkan Soekarno melarang keras bagi siapapun untuk menafsirkan Pancasila, sebab sifat abstraknya. Soekarno mengatakan: tidak ada yang boleh menafsirkan Pancasila secara sepihak, saya ulangi bahwa tidak ada yang dapat menafsirkan Pancasila secara sepihak termasuk partai yang ia dirikan sendiri.

Fakta Kesesatan Ketiga. Bahwa JPU ketiga menjadikan dasar penuntutan Pasal 28 J Ayat 2 tentang pembatasan kebebasan demokrasi. Ini adalah pengaturan abtrak yang bersifat moral dan kehati-hatian setiap orang seperti yang dijelaskan oleh Johan Gotlieb Fitche “Das system der Rechtslehre”. Dan Indonesia tidak menggunakan ini sebagai dasar menuntut seseorang didalam hukum pidana maupun perdata.

Bahwa Berdasarkan Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023 dari permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatiah terkait dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan Aturan mengenai larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Pemberlakuan Pasal yang dijadikan dasar pemenjaraan Bambang Tri dan Gusnur telah dicabut, sehingga tervonis harus dibebaskan, dan Negara harus meminta maaf atas kedua terdakwa. Sebab berdasarkan fakta di pengadilan telah melakukan penuntutan berdasarkan dasar yang keliru.

Hakim seperti yang disebutkan dalam teori Neil MacCormix “Legal reasoning and Legal Theory” diwajibkan menjabarkan dengan metode Bahasa apa hakim menfasirkan kata “keonaran” yang terdapat pada Pasal 14 Ayat (1) KUHP, apakah Metode Deduktif, Non Deduktif, atau Anti Deduktif.

Dengan dalil-dalil diatas. MAKA TELAH TERJADI KESESATAN “NECROMANCY” YANG DILAKUKAN NEGARA TERHADAP TERDAKWA DAN HARUS DIBEBASKAN, DAN TIDAK SESUAI DENGAN PRINSIP NITIPRAJA JAKSA (Sir Stamford Rafles).

Ultimum Remedium tidaklah berkaitan dengan sekedar duniawi semata, namun berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana setiap jaksa, hakim, dan pengacara pada alam akhirat.

Selain itu, seperti penelitian Alexander Brown dan Andreana Sincalair di seluruh dunia, pemberlakuan ini tidak membawa kebaikan bila terus dilanjutkan, bagaimanapun setiap masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kesejahtraan dsb, pernahkah pemerintah berfikir bagaimana keluarga terdakwa untuk hidup dalam kehidupan sehari-hari.

(Zs/NRS)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini