KNews.id – Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri menanggapi cerita mantan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat meminta kasus korupsi e-KTP dihentikan. Firli mengatakan posisi pimpinan KPK rentan mendapat intervensi.
“Ya kita menyadari bahwa saya kira setiap pimpinan menghadapi segala tantangan, hambatan, bahkan juga bisa jadi intervensi maupun tekanan,” ujar Firli di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan.
Nusron Minta Agus Rahardjo Sodorkan Bukti ‘Jokowi Minta Setop Kasus e-KTP’
Karena itu, Firli mengatakan, untuk menjadi pimpinan KPK harus mempunyai kepribadian yang berani. Lebih lagi, menurut dia, rakyat memberikan harapan pemberantasan korupsi, melalui pimpinan KPK.
“Karenanya jangan pernah menjadi pimpinan KPK kalau tidak berani untuk diintervensi, tidak berani untuk melawan tekanan, karena sesungguhnya keselamatan kita semua memang ada di pundak pimpinan KPK untuk bersihkan negeri ini dari praktik korupsi,” katanya.
“Saya kira semua semua orang akan alami tekanan intervensi dll, tinggal kita milih apakah berani untuk melawan tekanan atau tidak. Rekan-rekan pasti melihat kenapa akhir-akhir ini terjadi, mungkin juga ada tekanan atau lain-lainnya,” pungkasnya.
Airlangga soal Cerita ‘Jokowi Minta Setop e-KTP’: Golkar Itu Korban
Agus Rahardjo sebelumnya mengungkap cerita soal Jokowi yang meminta KPK menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menyeret nama mantan Ketua DPR Setya Novanto. Agus menyebutkan momen itu menjadi salah satu pendorong lahirnya revisi UU KPK. Istana menegaskan revisi UU KPK bukan inisiatif pemerintah, melainkan inisiatif DPR.
Cerita Agus mengenai pertemuan dengan Jokowi itu disampaikan dalam wawancara program Rosi di Kompas TV seperti dikutip, Jumat (1/12). Agus mengatakan saat itu dipanggil sendirian oleh Jokowi ke Istana.
“Saya terus terang pada waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian, oleh Presiden. Presiden waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno. Saya heran biasanya memanggil itu berlima, ini kok sendirian. Dan dipanggilnya juga bukan lewat ruang wartawan, tapi lewat masjid kecil gitu,” kata Agus.
Begitu masuk, Agus menyebutkan Jokowi sudah dalam keadaan marah. Menurut Agus, Jokowi meminta KPK untuk menghentikan kasus e-KTP Setya Novanto. “Di sana begitu saya masuk, Presiden sudah marah. Menginginkan… karena baru saya masuk, beliau sudah teriak ‘Hentikan’. Kan saya heran, hentikan, yang dihentikan apanya,” ujar Agus.
“Setelah saya duduk, ternyata saya baru tahu kalau yang suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR pada waktu itu, mempunyai kasus e-KTP supaya tidak diteruskan,” sambung dia.
Tanggapan Istana
Istana menanggapi pernyataan Agus terkait Jokowi yang meminta kasus e-KTP Setnov dihentikan. Istana menyatakan momen pertemuan Jokowi dan Agus tidak masuk agenda presiden.
“Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda Presiden,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, dalam keterangan tertulis kepada wartawan.
“Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap,” sambung dia. Ari lalu menegaskan kembali sikap Jokowi terkait kasus Setnov. Jokowi menghormati proses hukum yang berlaku.
“Presiden dalam pernyataan resmi tanggal 17 November 2017 dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK yang telah menetapkannya menjadi tersangka korupsi kasus KTP Elektronik. Presiden juga yakin proses hukum terus berjalan dengan baik,” imbuh Ari.
Selain itu, Ari menegaskan revisi UU KPK bukan inisiatif pemerintah, melainkan dari DPR. Revisi UU KPK juga disebut dilakukan setelah dua tahun Setnov tersangka. “Perlu diperjelas bahwa Revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif Pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto,” tegas Ari. (Zs/Dtk)