Asssalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh,
KNews.id– Judul
yang diberikan pada saya tentang kemiskinan dan solusinya ini adalah judul
terberat bagi percakapan sebuah bangsa. Apalagi, akan semakin berat, jikalau
bangsa itu tidak mempunyai pemimpin yang memahami kemiskinan dan peristiwa
kemiskinan dalam kerangka konsep yang tepat.
Kemiskinan, konsep dan sosok pemimpin bangsa yang mampu menyelesaikan masalah kemiskinan ini adalah pembicaraan kita siang ini. Kemiskinan adalah sebuah keadaan individual atau masyarakat yang mengalami kesulitan untuk membiayai hidupnya secara layak untuk asupan makanan bergizi, membiayai pendidikan dirinya atau keluarga dan kesulitan mempunyai tempat tinggal.
Dalam menguantifisir situasi kualitatif ini, lembaga-lembaga resmi dunia, seperti Worl Bank, IMF dan UNDP, mengetengahkan konsep kemiskinan dikaitkan dengan pendapatan penduduk dalam ukuran dollar PPP (Purchasing Power Parity). Negara-negara miskin dibagi pada ukuran penghasilan perhari, $ 1, $2 dan $ 4 – $ 5. Ukuran $1 adalah ukuran lama untuk negara-negara super miskin, seperti beberapa negara di Arika.
Sedangkan ukuran $ 4 – $ 5 untuk negara-negara lebih berkembang, seperti Turki dan Iran, sedangkan di tengah, seperti Indonesia dengan $ 2. Untuk Indonesia tepatnya $ 1,9, yang jika dikonversi dengan PPP adalah 1,9 x Rp 5300 = Rp 10.070 atau sekitar Rp 300.000 per bulan.
Namun, pemerintah Indonesia, sejak lama, mengembangkan lagi garis kemiskinan, dengan memodifikasi angka standar kemiskinan dunia itu dalam bentuk yang disebut garis kemiskinan. Garis kemiskinan ini mencoba merangkum kebutuhan makanan (73,75%) dan nonmakanan yang diperlukan setiap individu.
Garis kemiskinan kita saat ini adalah Rp 440.538. Jadi, setiap penduduk Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas garis itu, dinyatakan keluar dari kemiskinan. Penguantifikasian fenomena kemiskinan dalam angka pendapatan penduduk telah menjadi perdebatan di berbagai dunia.
Ketika Sarkozy, presiden Prancis, pada tahun 2008 membuat pertemuan “Commission On the Measurement of Economic Performance and Social Progress”, untuk mengkritik konsep kemiskinan yang ada saat ini, dia mengundang puluhan ahli ekonomi dan kemiskinan dari berbagai penjuru dunia, a.l., Joseph Stiglitz, Amartya Sen dan Fitoussi, ditemukan bahwa konsep kemiskinan yang ada saat ini tidak akan pernah menjawab kebutuhan dunia yang timpang secara struktural, ketimpangan yang berkelanjutan dan kemiskinan dengan perusakan lingkungan hidup.
Pada tahun 2016, Bank Dunia, yang mungkin terimbas pertemuan kelompok Stiglitz di atas, membuat pertemuan “Atkinson Commision”, komisi yang dipimpin Professor Sir Anthony Atkinson, akhirnya menyatakan ukuran kemiskinan selama ini harus diubah, baik kemampuan biro pusat statistik dalam melakukan survei, maupun keperluan menyerap aspirasi orang-orang miskin secara langsung (voice of the poor).
Hadirin yang saya muliakan, Pemimpin bangsa yang tidak cinta pada rakyatnya umumnya menyukai standar kuantitatif yang ada saat ini. Dengan adanya pengurangan persentase angka kemiskinan, maka jadikan sebuah klaim kesuksesan sebuah pemerintahan.
Padahal angka-angka ini sesungguhnya adalah angka jebakan, di mana angka ini dijadikan justifikasi untuk menyembunyikan struktur ketimpangan sosial yang terus berlangsung dan menjustifikasi adanya kesembronoan dalam penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Bagaiman situasi kemiskinan saat ini? Dan bagaimana pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintahan Jokowi? Beberapa tahun belakangan ini, Jokowi telah mendeklarasikan kemampuannya mengurangi kemiskinan di Indonesia menjadi di bawah satu digit.
Atau tepatnya pada tahun 2018 sebesar 9,82% dari tahun awal berkuasa 10,96%. Apabila konsep yang sama kita gunakan dalam beberapa periode paska reformasi, maka kita melihat pencapaian itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Pada masa awal reformasi, 1999-2004, angak kemiskinan berhasil diturunkan sebesar 6,8%, pada masa pemerintahan SBY 2004-2014 kemiskinaan turun sebesar 5,7 persen atau rerata 2,37% selama satu periode.
Sebaliknya, Jokowi selama satu periode hanya berhasil menurunkan kemiskinan 1 persenan saja. Penurunan kemiskinan ini, selain tidak signifikan, juga berada dalam struktur ketimpangan yang mapan, yang tidak berubah. Ketimpangan di Indonesia diperlihatkan dari struktur pemilikan rekening di bank sebagai berikut: (beritasatu.com, 28/8/19) dari jumlah uang tersimpan sebesar Rp 5900 triliun pada Juli 2019, misalnya, dengan total pemilik rekening 291 juta, mayoritas rekening, atau 286.052.349 (98%) rekening di miliki nasabah dengan simpanan di bawah Rp 100 juta. Porsi mereka sebesar Rp 848,67 T atau sekitar 1% saja dari Rp 5900 T tadi.
Sebaliknya, pemilik uang di atas 2-5 miliar mempunyai jumlah rekening 174.230 dengan porsi mereka Rp 545,51 T (1%) dan pemilik di atas Rp 5 miliar hanya 98.947 rekening (0,03% pemilik rekening) dengan porsi mereka Rp 2.768,62 T (47%). Saya pertegas lagi di sini, sebanyak 98% orang pemilik rekening hanya mempunyai 1% kekayaan total uang di bank, sebaliknya hanya 0,03% pemilik rekening, menguasai 47% total uang itu.
Ketimpangan pemilikan uang di bank, sejalan dengan ketimpangan kepemilikan tanah, di mana 2% orang menguasai hampir seluruh tanah produktif di Indonesia. Bahkan, Oxfam, sebuah NGO terbesar di Inggris, mengatakan bahwa hanya 4 orang terkaya Indonesia, telah memiliki kekayaan setara dengan 100.000.000 orang termiskin.
ICOR (Incremental Capital Output Ratio) kita yang tinggi, pada tahun 2018, sebesar 6,72, juga memperlihatkan ketidak efisienan dalam produktifitas bangsa.
Kita menjadi sangat tidak efisien jika bandingkan pada tahun yang sama, ICOR China yang 5,02; India 4,71; Malaysia 5,44, Vietnam 4,74, Thailand 6,04; dan Filipina 4,55. Hadirin yang saya muliakan, Kita belum bergerak membandingkan konsep kualitatif dalam melihat perspektif kemiskinan dan penyelesaiannya. Namun, dari apa yang ada saat ini, kita tahu bahwa kegagalam rezim Jokowi mengentaskan kemiskinan sangatlah jauh api dari panggang.
Pertanyaannya kenapa? Pertama adalah bangsa kita terjebak dengan kehidupan kontradiktif budaya. Di satu sisi, ajaran moral agama kita mengajarkan uang dan kekayaan bukanlah segala-galanya.
Ajaran agama kita secara lebih jauh mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah cobaan semata. Kita akan hidup kekal di akhirat nanti. Namun, di sisi lain, nafsu memperkaya diri menjadi kegilaan yang terus menggelora.
Setiap kesempatan menggunakan domain publik menjadi domain pribadi ada, maka langsung dieksekusi. Dengan situasi ini, kita tidak mengarah pada sebuah “trust society” yang “social capital”nya tumbuh untuk kepentingan semua. Sebaliknya, cakar-cakaran.
Akhirnya, orang-orang yang tidak mempunyai peluang bagus dalam struktur sosial, karena berada pada lapisan bawah, terus menerus terpinggirkan. Kedua, menyerahkan diri pada konsep kemiskinan kuantitatif ala Word Bank dan sejenisnya, akan menjadikan tugas negara menjadi minimum.
Padahal, jika pengertian pekerjaan dan kehidupan yang layak, yang dicantumkan dalam konstitusi kita, diterjemahkan dengan memasukkan kepentingan kaum miskin, “sustainablelity development”, kepentingan lintas generasi, efisiensi dan lain sebagainya, maka prinsip “equality” bagi semua rakyat, akan jadi acuan.
Artinya, tidak mungkin ada orang super kaya dengan situasi kemiskinan kita. Ketiga, pemihakan negara kepada orang miskin semakin kecil. Selam kepemimpinan Jokowi, terlihat agenda-agenda kepentingan kapitalis menjadi ukuran utama, yang kadangkala merusak prinsip-prinsip tujuan bernegara. Apa misalnya? Omnibus Law adalah contoh di mana negara, atas pemihakan buta pada kaum kapitalis, telah mendorong kemudahan-kemudahan kapitalis menguasi domain dan asset publik.
Omnibus law ini sendiri sesungguhnya secara parsial sudah dijalankan pemerintahan Jokowi selama ini. Misalnya apa? Misalnya Jokowi mempermudah orang-orang asing, khususnya RRC, bekerja, padahal mereka hanya buruh, bukan para ahli. Apa lagi, Jokowi juga lemah dalam masalah perlindungan hutan. Dan lain-lain.
Soal budaya bangsa, situasi korupsi merajalela, konsep yang lemah serta tugas negara yang hampir tidak memihak rakyat, akhirnya terlihat dengan prestasi Jokowi mengentaskan kemiskinan selam lima tahun ini, hanya 1 persenan saja.
Bagaimana jika dibandingkan dengan negara-negara lain? Apabila kita melihat skenario revolusi, seperti di Iran, misalkan, kemiskinan di pedesaan Iran sekitar 33% awal 80an menjadi 4% tahun 2012-2013, kemiskinan perkotaan hampir 40% awal tahun 80-an menjadi 4% tahun 2012-2013 (sumber: Djavad Salehi-Isfahani dalam “Poverty and Income Inequality in the Islamic Republik of Iran, 2017).
Apa yang dilakukan Iran? Skenario revolusioner (bukan revolusi mental) dilakukan dengan memerangi kemiskinan via menggelontorkan berbagai sumberdaya kepada rakyat miskin, seperti gas gratis untuk rumah tangga, dan uang 45 dolar perkapita miskin.
Di Turki, Erdogan berhasil menguragi kemiskinan (inkom di bawah $ 4 per hari) dari 30% pada tahun 2002, menjadi 2,27%, 2012) lalu menjadi 1,58%, 2015). Skenario Erdogan juga seperti pemimpin populis negara lainnya, yakni fokus pada pemberantasan kemiskinan.
Dan Erdogan sayang pada orang-orang miskin. Di Brazilia, pemimpin sosialis revolusioner Luiz Inacia Lula Da Silva, dengan program Bosla Familia, program transfer uang kepada 1 dari 4 orang Brazil, di samping 19 kebijakan lainnya, telah menurunkan kemiskinan dari 97% menjadi 4,3% selama dia berkuasa, 2003-2011.
Dua belas present penerima subsidi berhasil keluar dari skema subsidi. Lula menjadikan kepentingan kaum buruh sebagai sentral kebijakannya selama 8 tahun. Hadirin yang saya muliakan, Pembicaraan kita tidak akan pernah berhenti tentunya, karena masalah kemiskinan ini sangat kompleks.
Namun, jika kita mengerti tentang kemiskinan, jika kita sayang pada rakyat miskin, jika kita meyakini bahwa negara ini hanya ada dan perlu ada jika kita akan melindungi segenap tumpah darah kita, maka kita harus berubah.
Dan saatnya berubah. Apa langkah pertama yang penting dilakukan? Menurut saya adalah kembalikan negara melakukan tugasnya mengontrol dan mendistribusikan aset dan domain publik kepada orang banyak. Bukan kepada segelintir orang-orang kaya.
Bagaimana konkritnya yang lebih jelas? Usul saya, elite kuasa harus bersih dan anti korupsi atau anti memperkaya diri. Apa yang lebih konkret? Berikan hak rakyat untuk ramai-ramai membunuh para koruptor besar di lapangan Monas. (Fahad Hasan)
Noted: Tulisan ini disampaikan dalam pidato “Opposisition Leaders Economic Forum”, yang diselenggarakan Kahmipreneur, (13/3/20) di Perpustakaan Nasional RI-Jakarta.