spot_img

Kasus Jiwasraya Mengguncang Reksa Dana dan Asuransi

KNews.id- Mega skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mulai merembet ke industri pasar modal, khususnya industri reksa dana. Setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) memblokir sedikitnya 800 rekening efek terkait penyidikan Jiwasraya, mulai bermunculan persoalan lain di industri jasa keuangan termasuk reksa dana dan asuransi jiwa.

Industri reksa dana pun mulai mendapat cobaan. Sejumlah perusahaan manajer investasi (MI) dikabarkan tak bisa membayar nasabah yang ingin menarik dana investasi (redemption). Beberapa asuransi jiwa pun terkendala dalam pencairan klaim nasabah karena akunnya ikut terkena pemblokiran.

Di tengah kondisi ini, akhir pekan lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya mengumpulkan seluruh direksi self regulatory organization(SRO), perusahaan efek, MI dan asosiasi-asosiasi. SRO yakni Bursa Efek Indonesia (BEI), Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

- Advertisement -

Sebenarnya tak ada yang tahu, apa hasil rinci dari pertemuan tersebut. Hanya satu hasil yang sempat terpublikasi, yaitu para pelaku dan regulator mengusulkan adanya tim khusus yang dibentuk agar sejumlah kasus yang muncul dapat segera ditangani secara bersama-sama dan satu arah. 

November tahun lalu, OJK juga sudah turun tangan dengan melakukan suspensi terhadap produk reksa dana dari 37 perusahaan MI demi perbaikan industri.

Lantas, sebenarnya apa gerangan yang sedang terjadi?

Benarkah industri pasar modal Indonesia sedang tertekan karena efek mega skandal Jiwasraya. Jiwasraya seakan menjadi awal dari tekanan di pasar modal ini. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jiwasraya sudah melakukan investasi pada pada saham-saham berkualitas rendah. Ini yang menyebabkan, Jiwasraya rugi Rp 6,64 triliun, sebut Ketua BPK Agung Firman Sampurna.

“PT AJS (Jiwasraya) melakukan investasi pada saham-saham perusahaan yang berkualitas rendah yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan. Antara lain, analis dilakukan secara proforma dan tidak didasarkan atas dasar data yang valid dan objektif,” kata Agung dalam konferensi pers yang dilakukan, Rabu (8/1).

Lalu, lanjut Agung, jual-beli saham dilakukan dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized lost. Praktik ini, menurut BPK, merupakan aksi window dressing (mempercantik laporan keuangan).

“Lalu jual-beli dilakukan dilakukan dengan pihak-pihak tertentu dengan cara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu yang diinginkan,” jelas Agung.

Jiwasraya juga melakukan investasi pada saham tertentu yang menyalahi aturan, di mana alokasi investasi melebihi ketentuan sebesar 2,5%. Lalu investasi langsung pada saham-saham tertentu yang tidak likuid dengan harga yang tidak wajar. 

“Diduga manajemen Jiwasraya dan manajer investasi menyembunyikannya pada reksa dana dengan underlying saham. Pihak yang diajak AJS bertransaksi adalah pihak di grup yang sama, sehingga ada di duga dana perusahaan dikeluarkan melalui grup tersebut,” ungkap Agung.

Jual-beli saham berkualitas rendah yang diinvestasikan Jiwasraya melalui manajer investasi dilakukan dengan pihak-pihak yang terafiliasi dan dengan harga yang tidak sebenarnya. Harga saham tersebut kemudian mengalami penurunan nilai dan tidak likuid atau tidak bisa diuangkan.

Pihak yang terlibat, kata Agung, antara lain direksi Jiwasraya, general manager dan pihak lain di luar Jiwasraya. Pada 30 Juni 2018, Jiwasraya punya 28 produk reksa dana, di mana dan 20 reksa dana kepemilikan sahamnya di atas 90%. Reksa dana memiliki underlying kualitas rendah dan tidak likuid. 

Dalam investasi reksa dana tersebut, BPK menemukan Jiwasraya melakukan subskripsi secara tidak memadai. Dibuat proforma, seolah-olah MI memilik kinerja yang baik dan dipilih oleh Jiwasraya untuk menempatkan investasi. Selain saham, reksa dana tersebut juga memiliki aset dasar MTN (surat utang jangka menengah) dengan kualitas rendah.

Lalu kenapa bisa banyak manajer investasi yang terkena dampak dari kasus ini?

Berdasarkan perhitungan Kejaksaan Agung (Kejagung) potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 17 triliun.

“Ya dari 2008 yang kita sidik tuh 2008 sampai 2018, sehingga kerugiannya cukup besar. Perkiraan kemungkinan sekitar angka Rp 17 triliun, tapi real di hitungan BPK-lah. Akan berkembang terus nanti,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, di Jakarta, Jumat (14/2). (Fahad Hasan&DBS) r

Berita Lainnya

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini