spot_img

Jokowi, Corona, dan Otoritarianisme

Oleh: Alkautsar, Mantan Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi DKI

KNews.id- KETIKA dunia digegerkan kabar bahwa Wuhan diserang oleh wabah Covid-19, maka semua kepala negara-bangsa di dunia memasang kuda-kuda untuk menghadapi Covid-19. Seolah mereka sudah memiliki kesimpulan yang pasti bahwa tidak menutup kemungkinan wabah tersebut akan menyerang negaranya. Mereka melakukan persiapan sedini mungkin. Sedia payung sebelum hujan, itulah petuah tepat disematkan untuk kepala negara tersebut.

- Advertisement -

Sementara sikap yang kontras diperlihatkan oleh Presiden Joko Widodo yang  memberikan subsidi terhadap maskapai penerbangan sebesar Rp 440 milliar untuk kebijakan diskon tiket pesawat ke-10 destinasi wisata. Belum cukup dengan itu, tambahan subsidi oleh Pemda sebesar Rp 3,3 triliun untuk pembebasan pajak hotel dan restoran serta anggaran sebesar Rp 73 miliar untuk para influencer. Kebijakan itu untuk menarik wisatawan asing dan domestik.

Pandangan, pendapat ataupun masukkan tentang keberadaan wabah dibantah oleh pemerintah.

- Advertisement -

Pada bulan Februari, ada peringatan dari peneliti Harvard tentang kemungkinan keberadaan Covid-19 di Indonesia. Tetapi sibuk dibantah pejabat pemerintahan melalui pernyataan yang meremehkan, bahkan dianggap humor dengan embel-embel kelakar.

Alhasil peringatan tersebut menjadi fakta. Tepat tanggal 2 maret 2020 pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Fakta itu disusul oleh fakta lain tentang pergerakan Covid-19 di Indonesia yang sudah menyebar sejak awal Januari. Itu artinya, kasus yang diumumkan bulan Maret merupakan transmisi lokal.

Untuk menutupi kesalahannya, dibuatlah skenario tentang akan adanya penjarahan. Bahwa ada kelompok yang akan mengambil untung dari situasi. Bukankah narasi itu lebih tepat ditujukan kepada pemerintah. Nasi telah jadi bubur, korban terus ada dan berlipat ganda. Pemerintah sibuk berdalil dan berdalih, Covid-19 sibuk beralih dari manusia satu ke manusia lainnya.

Wabah bukanlah entitas asing di Indonesia. Riwayatnya sudah ada sejak zaman kekuasaan Hindia-Belanda. Fenomena yang cukup dekat dijadikan acuan yaitu pandemik flu burung dan flu babi yang terjadi di periode pemerintahan bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY).

Bedanya, tindakan fast respon dilakukan pemerintahan bapak SBY–Langkah strategis meredam penyebaran virus seperti menutup perbatasan, melarang pulang TKI, lockdown daerah dengan tetap memenuhi kebutuhan dasarnya, dan Takes yang terlindungi– bahkan yang paling patriotik, Siti Fadila Supari sebagai Menteri Kesehatan berhasil menyingkap dalang konspirasi virus flu burung (dikelola melalui media suryakita.com dan bergelora.com).

Pertanyaannya, mengapa pemerintah Jokowi bertindak seperti mementingkan kalkulasi ekonomi ketimbang kalkulasi kemanusiaan? Apakah pundi-pundi kapital lebih penting ketimbang nyawa? Jika begitu, rezim yang pada masa kampanye gencar tentang penegakkan HAM sebenarnya antipati terhadap kemanusiaan.

- Advertisement -

Mari kita elaborasi perihal sikap kontras Jokowi yang coba bermain di atas api. Sebenarnya, sejak tahun lalu krisis ekonomi sudah di depan mata. Sebelum pandemik, memang ekonomi dunia hanya tumbuh 2,3%-paling rendah sejak 2009. Ekonomi negara maju seperti AS 2,3%, Jerman 0,6%, Jepang 1,8%, & Inggris 1,4%. Perdagangan dunia juga menurun, dari 2,6% (2018) menjadi hanya 1,2% pada 2019. Investasi juga melambat. Banyak negara dililit defisit (Data didapat dari berdikarionline.com).

Covid-19 hanya mempercepat krisis. Untuk di Indonesia, mengutip pendapat parsial Adrian Panggabean seorang Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk mengatakan, bahwa Indonesia akan mengalami resesi di tahun 2020. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2020 akan lebih rendah dari kuartal IV 2019, bahkan bila memperhitungkan faktor musiman (ramadhan, lebaran, dan pergeseran masa panen).

Pertumbuhan PDB juga akan negatif (disarikan dari Kompas.com). Ini bisa berubah menjadi depresi ketika terjadi PHK besar-besaran, minimnya produksi, banyak pabrik yang tutup, tidak maksimalnya pendapatan pemerintah, lemahnya konsusmsi warga negara, pembayaran utang yang jatuh tempo, terjadi pelarian kapital, inflasi, ketiadaan investasi dan lain sebagainya.

Untuk mendapatkan formulasi yang tepat agar tetap menjaga PDB, Presiden Jokowi bisa belajar dari bapak SBY tentang kepemimpinan –metode yang digunakan untuk mengatasi krisis ekonomi dan melawan pandemik.

Perlu diketahui bahwa krisis 2008 dapat diatasi oleh bapak SBY dengan sukses mempertahankan stagnasi ekonomi di kisaran 4.5%, bahkan selanjutnya naik sampai 6,5%. Presiden Jokowi menggelontorkan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun melalui formulasi 9 Jaring Pengaman Sosial yang didalamnya terdapat dua warisan program sosial bapak SBY, yaitu PKH dan BLT untuk merangsang konsumsi masyarakat.

Kekeliruan Jokowi pada program ini yaitu terlalu berkreasi dengan situasi-variasi bantuan yang terbagi dalam dua jenis yaitu tunai dan non-tunai (sembako dan lain-lain). Niat memberikan ketenangan terhadap masyarkat justru semakin membuat gaduh masyarakat yang mendapatkan bantuan-banyak pihak yang mengatakan seharusnya semuanya dikonversi dalam bentuk uang tunai. Karena yang mengetahui kebutuhan ialah masyarakat itu sendiri.

Pendapat itu sejalan dengan kebijakan bapak SBY pada saat krisis 2008. Parahnya ada pelatihan via online kartu prakerja di saat bisnis maupun pabrik yang tutup ataupun banyak yang mengurangi jumlah pekerjanya.

Keadaan yang amburadul saat ini tidak terlepas dari sikap awal Presiden Jokowi yang sangat kontras. Belum terlambat untuk sowan meminta pendapat bapak SBY. Percayalah, itu tidak membuat anda dan partai anda rendah. Apalagi mengurangi wibawa dan kehormatan.

Situasi seperti ini dibutuhkan gotong royong sesama anak bangsa. Lihat saja Partai Demokrat, walaupun posisinya sebagai oposisi, melalui tindakan kemanusiaan yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia dengan peduli dan berbagi terhadap sesama warga negara. Hal itu sudah pasti signifikan meringankan beban pemerintah.

Sungguh menyedihkan juga pak Presiden. Di saat semua orang sedang panik, terjadi kriminalisasi terhadap warga negara, penangkapan terhadap Ravio Patra. Ketika semua pihak berjibaku melawan pandemik, loyalis bapak Denny Siregar mem-bully anak perempuan (satu-satunya) Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudoyono (AHY).

Di saat semua Takes berjuang melawan Covid-19, menteri bapak ribut untuk mendatangkan TKA China. Di saat semua orang ingin pandemik ini segera berakhir dengan penerapan PSBB oleh daerah, menteri bapak sibuk meluruskan pernyataan bapak tentang mudik-pulang kampung dan dikongkretkan pelonggaran operasi tranportasi. Fokuslah penanganan pandemik Covid-19.

Tempatkan kepentingan kemanusiaan di atas segalanya. Bersikaplah sebagai ksatria seperti Partai Demokrat yang menarik anggotanya dari pembahasan panja RUU demi kemanusiaan.(Fahad Hasan)

Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti
- Advertisement -spot_img

Terkini