KNews.id – Jakarta Eks Direktur Rekayasa dan Infrastruktur Darat PT Pertamina Patra Niaga, Edward Adolof Kawi membeberkan seluruh proses pencampuran atau blending bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan pihaknya.
Hal ini disampaikannya saat saksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina dengan terdakwa sekaligus beneficial ownership PT Tangki Merak dan PT OTM, Muhammad Kerry Adrianto Riza, yang juga merupakan anak dari Riza Chalid.
Awalnya, Kerry menanyakan pada Edward soal istilah oplosan BBM yang ramai dibicarakan publik, di mana disebut bisa merusak mobil. Mendengar hal tersebut, Edward mengklaim proses blending BBM tersebut aman dan sesuai prosedur.
“Kalau yang dilakukan di terminal Patra Niaga, baik milik maupun sewa, kami sudah melakukan prosedur quality control. Kami menjamin,” jawab Edward di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, (10/11/2025) malam.
Kemudian, Ketua Majelis Hakim, Fajar Kusuma Aji pun menggali hal yang sama soal istilah blending kepada Edward. Menurut Edward, blending merupakan pencampuran dari dua unsur yang berbeda.
Fajar pun bertanya, sejak kapan Pertamina melakukan blending BBM. Edward mengungkap, praktik tersebut pertama kali dilakukan Pertamina pada tahun 2007, yakni mencampur solar dengan FAME (Fatty Acid Methyl Ester) yang berasal dari minyak kelapa sawit mentah (CPO). Percampuran itu melahirkan produk biosolar.
Sementara untuk bahan bakar bensin, lanjut Edward, kajian blending mulai dilakukan pada 2015 dengan mencampur bensin beroktan rendah RON 88 dengan RON 92 hingga menghasilkan Pertalite dengan RON 90.
“Yang paling tinggi RON 98, yaitu Pertamax Turbo, itu murni. Yang ada blending saat ini hanya yang RON 95 karena ada ethanol-nya. Blending-nya itu Pertamax 92 ditambah Pertamax Turbo 98 dan ethanol,” dia menandasi.
Kejagung Tetapkan 9 Tersangka
Sebelumnya, Kejagung sendiri telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero). Enam di antaranya yang disebut tergabung dalam grup WA Orang-Orang Senang, hanya berasal dari anak perusahaan.
Mereka adalah Riva Siahaan selaku Direktur Utama (Dirut) Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional, dan Yoki Firnandi selaku Direktur PT Pertamina Internasional Shipping.
Kemudian Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, serta Edward Corne selaku VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga.
Sementara tersangka dari pihak swasta yang tidak masuk dalam grup WA tersebut adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadan Joede selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak.
Kerugian Negara Capai Rp 193,7 Triliun
Diketahui, kerugian negara dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018-2023 itu mencapai Rp 193,7 triliun. Sebanyak sembilan orang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, terdiri dari enam pejabat anak perusahaan Pertamina dan tiga dari pihak swasta.
Dalam perkembangan penyidikannya, Kejagung menemukan fakta-fakta baru, termasuk peran para tersangka dalam kasus korupsi ini.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menyebut PT Pertamina Patra Niaga telah melakukan importasi minyak mentah RON 90 (Pertalite) dan kemudian dioplos menjadi RON 92 (Pertalite) dari 2018-2023. Selama lima tahun kegiatan impor itu telah terjadi sebanyak ribuan kali.
“Jadi hasil penyidikan saya sudah sampaikan itu, Ron 90 atau di bawahnya itu, tadi fakta yang ada ditransaksi Ron 88 di-blendingdengan 92 dan dipasarkan seharga 92. Untuk harga itu seharga dengan Ron 92,” ujar Abdul Qohar saat konferensi pers Rabu malam, 26 Februari 2025.
Pertamina, kata Qohar, membeli minyak mentah jenis RON 92, tapi yang datang adalah BBM jenis RON 90 yang pada akhirnya dioplos menjadi BBM jenis Pertamax. Namun demikian, Kejagung masih enggan membeberkan asal muasal minyak mentah itu diimpor dari mana.
“Itu banyak, saya enggak bisa satu persatu, karena itu ada ribuan kali (selama lima tahun),” kata Qohar. Dalam kesempatan itu, Qohar membantah klaim pihak Pertamina Patra Niaga Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero) yang menyebut pihaknya tidak mengoplos Pertamax. Qohar menegaskan, penyelidikan Kejagung justru menemukan bukti sebaliknya.
“Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 atau di bawahnya ya 88 di-blending dengan RON 92, jadi RON dengan RON, jadi tadi kan tidak seperti itu,” kata Qohar.
“Yang pasti kami penyidik bekerja berdasarkan alat bukti. Nah sebagaimana yang telah saya sampaikan tadi di dalam fakta hukumnya. Saya rasa itu jawabannya,” tegas Qohar.



