KNews.id – Jakarta, 8 Februari 2024, malam hari, dalam acara Rosi, Kompas TV menayangkan wawancara eksklusif Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ke-5 dan Ketua Umum PDI Perjuangan, dengan Rosiana Silalahi. Saya, satu di antara sekian banyak pemirsa, terhenyak tak kepalang menyaksikan tuturan lancar dengan bahasa yang sangat encer dari seorang Megawati.
Mbak Mega, seolah berselancar tanpa hambatan. Ia bertutur dengan bahasa hati, tanpa beban sedikit pun. Rona wajahnya memperlihatkan muka seorang yang bebas mengutarakan perasaan dan kegalauannya.
Segalanya jadi terbuka. Ia sukses meyakinkan para pemirsa bahwa di pundaknya tak ada yang tersampir menghalangi kebebasannya bersuara dan berseru. Alur pikirnya mengalir deras. Pilihan katanya sangat sederhana dan enteng dipahami. Segalanya jadi terang benderang.
Tak ada yang diselubungi dan disarukan. Itulah khas Mbak Mega dalam politik Indonesia. Rosiana, pewawancara, sangat sukses malam itu, membawa Mbak Mega ke pelataran, memaklumkan isi hati dan mendeklarasikan kegelisahannya. Kata Mega, ada masa ia mendengar Presiden Jokowi ingin menambah masa jabatannya menjadi tiga periode.
Saya kokoh dalam pendirian bahwa Konstitusi harus ditaati: hanya dua periode. Kalau bukan kita sendiri yang menaati Konstitusi, siapa lagi yang diharapkan menaatinya, tegas Mega malam itu. Saya tahu, Konstitusi memang bisa diamandemen untuk memenuhi keinginan.
Posisi saya jelas, jangan hanya karena ambisi kekuasaan kita harus mengutak atik Konstitusi. Kapan kita memiliki sistem yang baik bila selalu mau mengubah Konstitusi untuk melayani kepentingan pribadi. Konstitusi kita tegakkan sebagai panduan untuk kita melayani rakyat. Begitu jalan pikiran Mega.
Pernyataan itu, membuka selubung teka teki tentang hubungan Presiden Jokowi dengan Mbak Mega. Akar persilangan sikap politik antara Jokowi dan Mbak Mega bisa jadi, antara lain, dipicu dan bermula dari determinasi Mega untuk tidak melayani ambisi kekuasaan Jokowi tadi. Dan itu menimbulkan luka bagi seorang Jokowi.
Partai Mega, PDIP, memang pernah berniat dan beirkhtiar untuk mengamandemen Konstitusi dengan tujuan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara supaya presiden tidak selalu mengubah-ubah program dan perencanaan.
Jalan pikiran PDI-P ketika itu, adalah menjaga stabilitas perencanaan pembangunan dan arah kemajuan bangsa. Namun, atas inisiatif PDI-P, niat dan ikhtiar tersebut diurungkan. Megawati sangat khawatir bila amandemen Konstitusi untuk menghidupkan kembali GBHN, disusupi agenda lain, misalnya, keinginan memperpanjang masa jabatan presiden.
Di sinilah kebesaran hati seorang Mega yang menihilkan keinginan demi tegaknya Konstitusi. Mega dalam konteks ini, lebih memilih mengorbankan kehendaknya dibanding mengutak-atik Konstitusi hanya untuk memuaskan selera individu.
Determinasi Mega untuk merawat Konstitusi sangat teruji. Mungkin saja ada yang berpendirian bahwa Megawati menolak mengamandemen Konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, karena Megawati mempersiapkan putrinya sendiri untuk maju jadi calon presiden.
(Zs/Kmps)