Defisitnya Mau Seberapa Lebar, Bu Menkeu?

131
Advertisement

Oleh: Awalil Rizky, Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri

KNews.id– Defisit APBN artinya Belanja Negara melebihi Pendapatan Negara. Selama era reformasi, APBN memang mengalami defisit. Nilainya berfluktuasi, dengan kecenderungan meningkat sejak tahun 2011. Defisit sebesar Rp345,6 triliun pada 2019 merupakan rekor.

Advertisement

Nilai defisit APBN biasa dikemukakan Pemerintah dalam rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan salah satu ukuran utama dari pendapatan nasional. Logikanya, memakai ukuran rasio menjadi lebih fair untuk membandingkan kondisi antar tahun.

Dalam ukuran rasio juga terjadi fluktuasi, dengan kecenderungan meningkat sejak 2011. Tertinggi terjadi pada 2015 sebesar 2,59%. Hampir setara pada tahun 2016 (2,49%) dan 2017 (2,51%). Defisit turun menjadi 1,82% pada 2018. Sempat membuat optimis, sehingga defisit ditargetkan sebesar 1,84% pada 2019. Namun, realisasi 2019 ternyata mencapai 2,18%.

Ketika APBN 2020 ditetapkan akhir Agustus 2019, belum terduga akan adanya pandemi covid-19. APBN disusun secara berlebihan optimisnya, terutama berkenaan dengan Pendapatan Negara. Target defisit secara nominal hanya Rp307,23 triliun atau lebih rendah dari 2019. Rasionya pun akan diturunkan menjadi 1,76%, yang jika tercapai merupakan rekor terendah sejak 2012. 

Pandemi kemudian melanda dunia, dan Indonesia termasuk yang cukup menderita. Pandemi berdampak pada sebagian besar aktivitas ekonomi, yang selanjutnya mempengaruhi pendapatan dan belanja negara. Pendapatan sudah pasti akan berkurang, antara lain karena perolehan pajak yang memang mencerminkan aktifitas ekonomi nasional. Sedangkan belanja justru cenderung meningkat, karena Pemerintah harus melakukan beberapa kebijakan mitigasi dampak yang menimbulkan biaya. 

Pemerintah pun mengeluarkan Perpres no.54/2020 tanggal 3 April 2020 yang mengubah postur APBN 2020. Berpayung hukum perppu no.1/2020, isi perpres sejatinya merupakan APBN Perubahan. Prosesnya tidak lagi melalui mekanisme normal yang perlu pembahasan cukup lama dengan DPR.

Perppu yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR tersebut, mengubah target Pendapatan menjadi jauh lebih rendah dan menambah belanja. Defisit APBN “Perubahan” 2020 direncanakan menjadi sebesar Rp852,9 triliun. Disebut bahwa rasionya atas PDB sebesar 5,07%.  

Rupanya, perkembangan kondisi sekitar 1,5 bulan kemudian menjadi lebih buruk dilihat dari sisi APBN. APBN versi Perpres disadari Pemerintah masih kurang memadai. Pemerintah, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Keuangan, memiliki prakiraan realisasi APBN yang baru per 18 Mei 2020.

Belum ditetapkan payung hukumnya semisal Perpres. Prakiraan realisasi itu masih bersifat outlook, yang sebenarnya disampaikan dalam konteks hal lain kepada DPR. Yakni tentang rencana kebijakan pemulihan ekonomi nasional (PEN), yang tentu saja berimplikasi pada biaya. Nah, biaya PEN itu terutama berkaitan dengan postur APBN, sehingga perlu dikemukakan.

Outlook APBN 2020 per 18 Mei tersebut menurunkan lagi target Pendapatan menjadi sebesar Rp1.691,6 triliun. Lebih rendah dibanding yang ditetapkan Perpres sebesar Rp1.760,9 triliun. Outlook juga menambah rencana belanja menjadi sebesar Rp2.720,1 triliun. Akibatnya, defisit diprakirakan meningkat menjadi Rp1.028,5 triliun. Rasionya atas PDB dikatakan sebesar 6,27%.

Mengingat fenomena pandemi covid-19 di Indonesia masih penuh ketidakpastian, maka tidak mustahil outlook APBN 2020 dari Pemerintah akan berubah lagi. Lebih mungkin bersifat memburuk dalam artian defisit makin besar dibanding kemungkinan sebaliknya. 

Satu hal yang perlu dicermati adalah berapa prakiraan PDB 2020 menurut Pemerintah. Nilainya akan menentukan rasio defisit APBN. Sekaligus menunjukkan prakiraan Pemerintah atas pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi. Secara teknis, harus seiring dan konsisten perhitungannya.

Ketika APBN 2020 menyebut defisit sebesar Rp307,23 trilin memiliki rasio 1,76%, maka nilai PDB diasumsikan sebesar Rp17.400 triliun. Ketika Perpres menargetkan defisit sebesar Rp859,2 triliun sebagai 5,07%, maka PDB dianggap Rp16.822 triliun. Sedangkan “outlook” per Mei 2020 mengatakan defisit bisa mencapai Rp1.028,5 triliun sebagai 6,27%, maka PDB diasumsikan Rp16.404 triliun.

Perubahan asumsi PDB tentu saja mencerminkan perubahan asumsi pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Secara teknis, tingkat inflasi yang dipakai bukan dari indeks harga konsumen (IHK), melainkan yang dihadapi produsen. Perhitungan teknis “inflatoir”nya memakai PDB deflator atau indeks implisit PDB. Secara sederhana dapat dikatakan indeks implisit searah dengan inflasi IHK, dengan besaran sedikit lebih rendah. 

PDB menurut harga berlaku tahun 2019 sebesar Rp15.834 triliun. Ketika Perpres memprakiraan PDB sebesar Rp16.822 dapat ditafsirkan asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasinya memang mengikuti skenario berat. Yaitu pertumbuhan ekonomi (2,3%) dan inflasi (3,9%). Sedang outlook per 18 Mei tampak mulai mengarah kepada skenario sangat berat, yaitu pertumbuhan ekonomi (-0,4%) dan inflasi (5,1%). Penamaan skenario berat dan sangat berat diberikan oleh Pemerintah sendiri.

Realisasinya hingga akhir tahun nanti masih tak bisa dipastikan. Dapat saja pandemi berlangsung lebih lama, dan dampaknya lebih buruk dari prakiraan. Defisit bisa menjadi lebih lebar. Realisasinya mungkin mencapai Rp1.100 triliun. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari proyeksi skenario sangat berat, misalkan terkontraksi hingga -1,5%. 

Pada saat bersamaan, inflasi menjadi soalan dilematis. Pemerintah dan Bank Indonesia pasti akan berupaya keras menahan laju inflasi, sekurangnya tidak melampui 5%. Laju pertumbuhan implisit PDB (inflasi yang dihadapi produsen) akan di kisaran 3-4%. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi sekitar -1,5% di atas, maka PDB nominal hanya di kisaran Rp16.350 triliun. 

PDB menurut harga berlaku tahun 2020 kemungkinan menjadi tetap lebih besar dibanding tahun 2019. Namun hal itu karena kontribusi inflasi. Jika inflasi lebih dari 5%, maka PDB baru akan dapat mencapai asumsi outlook 18 Mei. Bisa dipastikan tidak akan sebesar prakiraan versi Perpres.

Singkat kata, kita tidak sedang bicara tentang defisit 5,07% (versi Perpres) ataupun 6,27% (versi outlook 18 Mei), melainkan mengarah pada 6,73%. Dan jika defisitnya seperti prakiraan penulis, yakni Rp1.100 triliun. Tampaknya kita terpaksa berdiskusi tentang angka psikologis rasio defisit yang baru, yakni 7%.

Baiklah, pendapatan akan turun akibat pendemi. Setuju, belanja meningkat karena kebutuhan mitigasi. Akibatnya, defisit melebar. Namun, mau seberapa lebar? Dan yang paling penting, jelaskan kepada publik secara lebih lugas tentang perhitungannya. Kondisi sulit bukan berarti segalanya dipasrahkan begitu saja kepada segelintir orang. Kita sedang bicara nasib semua rakyat, lintas generasi.(ADE)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini