KNews.id- Malang betul nasib Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) andai usulan DPR agar lembaga eks Bapeppam-LK tersebut dibubarkan benar-benar terjadi.
Sebab, usia OJK sendiri belum genap 10 tahun sejak berdiri 2011 silam.
Mengingatkan saja, OJK dibentuk berdasarkan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan terintegrasi terhadap kegiatan sektor jasa keuangan.
OJK menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan
dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan. OJK juga menggantikan peran
Bank Indonesia (BI) dalam pengaturan dan pengawasan bank dan industri keuangan
non bank (IKNB).
Namun, sayang beribu sayang, tinta merah terlalu
banyak menghias rapor OJK. Sebutlah, Bank Muamalat yang ngos-ngosan mengatasi
persoalan pembiayaan macet (NPF), PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang gagal
bayar karena produk asuransi saving plan dinilai menjanjikan imbal hasil
‘selangit.’
Belum lagi, persoalan baru di PT Asabri
(Persero) yang menurut laporan keuangan 2017 mencatat rasio solvabilitas (RBC)
63,35 persen. Rasio ini menunjukkan kemampuan perseroan membayar klaim nasabah,
dalam hal ini peserta yang merupakan prajurit TNI, Polri, dan pensiunan
TNI-Polri.
Mundur sedikit ke belakang, OJK juga memiliki
pekerjaan rumah (PR) terhadap AJB Bumiputera. Memang, kinerja Bumiputera yang
menunggak pembayaran klaim ialah warisan dari lembaga sebelum OJK. Tapi,
penyakit menahun Bumiputera pun belum kunjung sembuh.
Tidak heran Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendesak
OJK untuk mereformasi IKNB, termasuk di dalamnya industri asuransi dan dana
pensiun. Ibarat pepatah, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pun
mengangguk. Wimboh bilang pihaknya membahas rencana reformasi bahkan sejak
tahun lalu, namun penerapannya butuh waktu.
“Ini coba kami kaji, harus ada reformasi. Ini
sudah dibahas pada 2018 lalu, penerapan perlu waktu. Insyallah 2020 ini jadi
agenda yang berlanjut,” tutur Wimboh.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo membenarkan
reformasi mendesak di industri non bank. Ia bahkan dengan gamblang menyebut OJK
lalai melakukan pengawasan di industri asuransi.
Jiwasraya, kata dia, menjadi salah satu kasus
besar di industri asuransi. Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan dugaan korupsi
di Jiwasraya dan sudah menahan 5 tersangka yang terkait dengan kasus tersebut.
Sementara, manajemen Jiwasraya menghentikan
pembayaran klaim jatuh tempo untuk produk saving plan pada Oktober 2018 lalu
sebesar Rp802 miliar. Maklum, perseroan kekeringan likuiditas.
Ekuitas Jiwasraya tercatat negatif sebesar
Rp10,24 triliun dan defisit sebesar Rp15,83 triliun pada 2018. Keuangannya
semakin memburuk pada September 2019 dengan mencatat ekuitas negatif sebesar
Rp23,92 triliun.
Irvan menganggap seharusnya OJK sudah mengetahui
hal ini sejak awal atau sejak saat OJK beroperasi. Jika sudah tahu keuangannya
buruk, Jiwasraya seharusnya tak bisa mengeluarkan produk saving plan.
“Kalau ingin mengeluarkan produk saving plan
seharusnya perusahaannya tidak boleh merugi. Kalau memang rugi ya disetop.
Kenyataannya, Jiwasraya tetap bisa mengeluarkan produk saving plan,” tegas
Irvan.
Menurutnya, jangan sampai aturan yang dibuat hanya
menjadi ‘pajangan’ semata. Namun, OJK sendiri tak menaati kebijakan yang
dibuatnya sendiri. “Jangan buat aturan tapi ujung-ujungnya tidak
ditegakkan. Ini seperti ada jurang antara aturan dan pengawasan OJK,”
jelasnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan sejumlah poin
yang bisa masuk sebagai pembahasan reformasi lembaga keuangan nonbank. Beberapa
poin tersebut, antara lain tata kelola OJK, menegakkan fungsi perlindungan
konsumen, hingga peningkatan literasi di sektor asuransi.
Namun, sebelum mereformasi industri non bank,
Irvan menyarankan reformasi lebih penting dilakukan di tubuh organisasi
pengawas, dalam hal ini OJK. Jadi, ada perubahan secara besar-besaran di
regulator dulu sebelum mengatur lebih ketat sektor keuangan non bank.
“Jadi bukan reformasi asuransi, tapi
reformasi tubuh OJK. Bahkan kalau saya mau bilang bubarkan OJK, kembalikan
fungsi pengawasan ke Kementerian Keuangan dan untuk bank ke bank sentral,”
jelas Irvan.
Sependapat, Pengamat Asuransi Hotbonar Sinaga
menyatakan pengawasan yang dilakukan OJK selama ini memang kurang ‘greget’.
Sebagai regulator, seharusnya OJK melihat lebih detail situasi perusahaan yang
diawasinya.
“Aturannya kan masing-masing perusahaan memang harus
lapor, ada yang per bulan, tiga bulan sekali, enam bulan sekali. Tetapi kurang
didalami,” kata Hotbonar.
Jika memang ada satu perusahaan yang terlihat
berpotensi rugi, OJK harus mengawasinya lebih ketat dari sebelumnya. Selain
itu, OJK dan manajemen juga harus membahas dengan intens agar perusahaan tak
merugi.
“Kalau ada yang berpotensi buruk, OJK turun
ke lapangan. Lakukan pemeriksaan lebih dalam,” imbuh dia.
Selain itu, masing-masing divisi di OJK juga harus
saling berkoordinasi dengan cepat. Misalnya, ada masalah investasi di
perusahaan asuransi. Pihak yang bertanggung jawab di sektor itu harus segera
membahasnya dengan bagian pasar modal.
“Kalau kaitannya dengan investasi reksa dana, lalu saham kan ini harus ada koordinasi dengan bagian pasar modal. Ditingkatkan lagi koordinasinya,” jelas Hotbonar.Â
Hotbonar menyatakan langkah reformasi lembaga keuangan nonbank sejatinya belum terlambat. Ini menyebut ini bisa jadi momentum yang bagus untuk memperbaiki industri.Â
“Tidak ada yang terlambat, kasus gagal bayar (Jiwasraya) pemicu saja. Ini saat yang tepat,” pungkas Hotbonar.Â
DPR Usul PembubaranÂ
Tak cuma pengamat, Wakil Ketua Komisi XI DPR Eriko Sotarduga juga mengusulkan agar fungsi OJK dikembalikan ke BI, termasuk Bapepam-LK. Secara tidak langsung, DPR mengusulkan OJK dibubarkan.Â
Ia bilang peluang ini terbuka melihat masalah di industri keuangan yang mencuat beberapa waktu terakhir. Persoalan itu menyangkut sektor asuransi dan perbankan, misalnya Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), hingga PT Bank Muamalat Tbk.Â
“Terbuka kemungkinan (dikembalikan fungsi pengawasan lembaga keuangan ke BI dan Kementerian Keuangan). Apa memungkinkan dikembalikan ke BI? Bisa saja. Di Inggris dan di beberapa negara sudah seperti itu,” ungkap Eriko di DPR.
Hal ini, lanjut dia, akan dievaluasi oleh DPR
melalui panitia kerja (panja) yang akan dibentuk oleh Komisi XI DPR mengenai
kinerja industri jasa keuangan.
“Teman-teman internal bicara pemisahan
dilakukan untuk pengawasan yang lebih baik. Nah, ternyata hasilnya tidak
maksimal. Tapi kan kami tidak bisa menyalahkan begitu saja,” terang Eriko.
Selain itu, DPR juga sedang menyusun program
legislasi nasional (prolegnas) saat ini. Ia bilang pihaknya akan memasukkan
revisi Undang-Undang (UU) tentang BI dan UU tentang OJK.“Nanti kami akan mulai masuk ke perubahan
UU BI dan UU OJK,” jelasnya.(Fahad Hasan&DBS)t\t\tmargin: 0;\n\t\t\t}\n\t\t\thtml,\n\t\t\tbody,\n\t\t\tbody > div,\n\t\t\tbody > div > iframe {\n\t\t\t\twidth: 100%;\n\t\t\t}\n\t\t\thtml.wp-has-aspect-ratio,\n\t\t\tbody.wp-has-aspect-ratio,\n\t\t\tbody.wp-has-aspect-ratio > div,\n\t\t\tbody.wp-has-aspect-ratio > div > iframe {\n\t\t\t\theight: 100%;\n\t\t\t\toverflow: hidden; /* If it has an aspect ratio, it shouldn’t scroll. */\n\t\t\t}\n\t\t\tbody > div > * {\n\t\t\t\tmargin-top: 0 !important; /* Has to have !important to override inline styles. */\n\t\t\t\tmargin-bottom: 0 !important;\n\t\t\t}\n\t\t”}}),this.props.styles&&this.props.styles.map((function(e,t){return Object(o.createElement)(“style”,{key:t,dangerouslySetInnerHTML:{__html:e}})}))),Object(o.createElement)(“body”,{“data-resizable-iframe-connected”:”data-resizable-iframe-connected”,className:this.props.type},Object(o.createElement)(“div”,{dangerouslySetInnerHTML:{__html:this.props.html}}),Object(o.createElement)(“script”,{type:”text/javascript”,dangerouslySetInnerHTML:{__html:”\n\t\t\t( function() {\n\t\t\t\t