spot_img
Kamis, Maret 28, 2024
spot_img

Ada Apakah di Morowali dan Konawe, TKA China!

Oleh: Lalu Mara Satriawangsa

KNews.id- Kerapkali publik dibuat terperanjat dengan kedatangan TKA asal China ke Kabupaten Morowali (Sulawesi Tengah) dan Kabupaten Konawe (Sulawesi Tenggara). Apalagi sejak pandemi Covid-19 di mana sumber virus ini berasal dari kota Wuhan, China.

- Advertisement -

Setiap kedatangan TKA asal China datang, ramai di media sosial. Dan di sisi lain, Kemenko Maritim dan Investasi sibuk memberi penjelasan kepada publik – bukannya humas perusahaan – membuat publik semakin bertanya-tanya. Sebetulnya ada apa di Morowali dan Konawe?

Semenjak Presiden Jokowi dilantik sebagai Presiden tahun 2014, Indonesia sangat gencar mengundang investor dari berbagai negara. Dan yang paling cepat merespon undangan Presiden Jokowi adalah investor China. Memang karakter investor China cepat dalam mengeksekusi setiap peluang.

- Advertisement -

Visi Presiden Jokowi untuk mengekspor barang jadi, misalnya dari satu bahan baku nikel dieksekusi oleh investor China. Tak tanggung-tanggung investasinya miliar dollar Amerika Serikat di tiga kawasan Industri di luar Pulau Jawa; Morowali, Konawe, dan Halmahera.

Untuk mendapat investor yang tidak mikir panjang dalam sistuasi seperti saat ini, tentunya tidak mudah juga. Apalagi banyak negara di dunia melirik dan mengundang investor China berinvestasi ke negaranya. Sebut saja Arab Saudi. Jangan tanya Amerika Serikat, surat utangnya yang dipegang China nilainya triliunan dollar Amerika Serikat. Dan hingga saat ini belum bisa bayar.

- Advertisement -

Di Kawasan Industri Morowali, investor kelas dunia China Tsingshan Group, pioner dalam indutri baja nirkarat (stainless steel) dan menduduki ranking 361 pada Fortune Global 500 membangun berbagai industri pengolahan nikel untuk dijadikan stainless steel, carbon steel yang nantinya berakhir (hilirnya) pada industri energi terbarukan; batere lithium. Semuanya menggunakan teknologi terbaru dan modern.

Saat ini, produk yang dihasilkan perusahaan tersebut adalah Nickel Pig Iron (ferro nikel berkadar rendah) sebesar 2 juta ton per tahun, stainless steel (baja nirkarat) sebesar 3 juta ton per tahun, Cold-rolling 700 ton per tahun, dan carbon steel sebesar 3,5 juta ton per tahun.

Sepanjang tahun 2019, total penjual Kawasan Industri Mowowali sebesar 9,6 miliar dollar AS terdiri dari 4,4 miliar dollar AS diperoleh dari kegiatan ekspor, dan sisanya sebesar 5,2 miliar dollar AS dari penjualan domestik.

Sementara kuartal pertama tahun 2020, pendapatan dari penjualan dalam negeri sebesar 1 miliar dollar AS, dan dari eskpor sebesar 1,5 miliar dollar AS. Total penjualan pada kuartal pertama sebesar 2,5 miliar dollar AS.

Untuk ferronickel pada kuartal pertama produksinya mencapai 567 ribu ton dengan nilai keluaran (output value) sebesar 910 juta dollar Amerika. Target penjualan untuk carbon steel tahun 2020 sebesar 779 juta dollar, menurun 43 persen dari target semula sebesar 1,365 miliar dollar AS karena pandemi Covid-19.

Di Kawasan Industri Morowali sudah terbangun berbagai fasilitas penunjang seperti pembangkit listrik (PLTU) sebesar 2.850 MW, di mana 1.610 MW sudah beroperasi, dan 1.240 MW dalam pengerjaan kontruksi.

Fasilitas penunjang lainnya yang sudah terbangun adalah pelabuhan laut dengan kapasitas 36 juta ton dari lima dermaga (pier). Pelabuhan udara dengan runway sepanjang 1.800 meter, perumahan karyawan, apartement, 3 Masjid dan berbagai faslitas lainnya.

Total tenaga kerja yang diserap di kawasan industri Morowali sebanyak 45 ribu orang, di mana 39.500 adalah tenaga kerja lokal/Indonesia dan sisanya sebanyak 5.500 orang TKA asal China. Masih tingginya jumlah TKA China karena saat ini masih ada pembangunan pembangkit listrik dan pabrik hilirisasi.

Itu di Morowali. Lantas ada apa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara? Tak jauh beda dengan Morowali, investor China melalui PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) membangun smelter dengan nilai investasi mencapai Rp1 triliun atau lebih dari Rp15 triliun. Pembangunan smelter di atas lahan 2.253 hektar.

Dan saat ini sudah mulai operasi dengan kapasitas produksi Nickel Pig Iron (feronikel berkadar yang berkadar rendah) mencapai 600 ribu MT-800 ribu MT per tahun. pabrik pengecoran dan peleburan Nickel Pig Iron (NPI) yang memiliki kadar nikel antara 10 persen hingga 12 persen dengan jumlah produksi 15 tungku Rotary Kiln-Electric Furnance (RKEF).

Produk ferronikel produksi VDNI diolah lagi untuk menjadi baja nirkarat oleh PT Obsidian Stainless Steel (OSS). Jumlah tenaga kerja yang diserap dari dua perusahaan tersebut sebanyak 11.163 orang, di mana 11.084 tenaga kerja lokal, dan 706 orang TKA China.

Melihat besaram nilai investasi miliar dollar AS, penggunaan TKA yang tak mencapai 10 persen dari total tenaga kerja masih bisa diterima dengan akal sehat. Tapi ke depan, penggunaan TKA harus berkurang secara gradual. Dan disinilah tugas pemerintah untuk terus memantau perkembangan industri tersebut dari dekat.

Sebelumnya total ekspor biji nikel Indonesia per tahun sebesar 350 juta dolar AS, dan setelah diolah menjadi stainless steel, carbon steel nilai ekspornya mengalami kenaikan dari 2 miliar dolar AS di tahun 2017 menjadi 3,5 miliar dolar AS di tahun 2018 dan tahun 2019 menurut informasi yang diperoleh penulis mencapai 4,4 miliar dolar AS. Dan saat ini Indonesia sudah menjadi eksportir terbesar di dunia untuk stainless steel.

Lantas apa yang diperoleh Indonesia dari kawasan industri tersebut? Yang pasti pemerintah Indonesia mendapat setoran pajak Pph Badan, Pph Perorangan (karyawan), PPN, dan pajak daerah, seperti pajak penarangan jalan, pajak pengambilan air tanah dan restribusi daerah lainnya. Selain itu, ke depan dengan meningkatkanya nilai ekspor barang jadi dari kawasan tersebut akan menekan angka defisit transaksi berjalan. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah penyiapan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal yang jumlahnya cukup signifikan.

Sementara kehadiran TKA di awal-awal konstruksi karena investor menunjuk kontraktor sendiri untuk mengerjakan. Ke depan, pemerintah seyogyanya meminta investor yang akan berinvestasi untuk bekerjasama atau aliansi dengan kontraktor pemerintah (BUMN).

Jadi ribut-ribut yang terjadi selama ini adalah buah dari minimnya informasi mengenai kegiatan investasi di Kawasan Industri Morowali, Konawe, dan Weda (Halmahera). Perusahaan tersebut harus lebih terbuka menjelaskan kepada publik apa yang dikerjakan dan berapa banyak menyerap tenaga kerja lokal, kegiatan CSR dan sebagainya.

Sementara, pemerintah Cq Kemenko Maritim dan Investasi tampil di depan layaknya sebagai juru bicara dari perusahaan-perusahaan tersebut. Inilah pangkal soalnya. Karena hal itu memancing persepsi beragam, yang pasti lebih banyak negatifnya ketimbang positifnya. Meski niatnya baik dan memang tupoksi Kemenko Marves untuk menjelaskan kepada publik terkait investasi asing tersebut.(ADE)

Berita Lainnya

Direkomendasikan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Ikuti Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PengikutMengikuti

Terpopuler

Terkini